Sahabat saya pernah berkata,

“Sesungguhnya, untuk menjadi orang tua itu persiapannya sangat panjang, jauh sebelum kamu menikah, bahkan ketika kamu masih seorang diri.”

Awalnya saya tak paham dengan kalimat tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya saya mengerti. Menjadi orang tua artinya menjadi penanggung jawab atas amanah yang Tuhan berikan, yaitu anak. Amanah yang tidak main-main, sebab amanah inilah yang akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.

Benar, persiapan menjadi orang tua memang bisa dilakukan sejak seorang diri. Laki-laki bisa melatih diri menjadi pemimpin yang tegas dan pribadi yang bertanggung jawab di masa kesendiriannya. Mengapa? Karena nantinya ia akan menjadi figur ayah yang harus mampu membuat keputusan, mengayomi, melindungi, mencari nafkah, juga menjadi pemimpin yang memberi teladan dalam keluarga. Begitupun perempuan, sejak single bisa melatih diri untuk menjadi perempuan yang menjaga kemuliaan fitrahnya, perempuan yang memperkaya dirinya dengan ilmu, memegang teguh prinsip hidupnya dan menjadi diri yang berkarakter. Kenapa harus menjaga kemuliaan, berprinsip, dan berkarakter? Karena sesungguhnya kelak, perempuan akan menjadi istri dan ibu yang hebat. Jika sejak single saja menjadi pribadi yang tak berprinsip dan tak mau belajar, bayangkan generasi dengan kualitas seperti apa yang akan dicetaknya kelak apabila menjadi seorang ibu. Bukankah tugas perempuan adalah berikhtiar untuk bisa melahirkan generasi-generasi hebat yang terarah, berprinsip dan berkarakter?

Maka, jalani saja peranmu saat ini dengan penuh kesadaran dan totalitas. Selagi masih sendiri, tanamkan dalam hati bahwa “Aku adalah cikal bakal dari tumbuhnya peradaban tangguh di masa depan.” Kemudian setelah itu, barulah perempuan memilih calon ayah, dan laki-laki memilih calon ibu terbaik bagi anak-anaknya.

Ya, sepanjang itulah perjalanannya menjadi orang tua, belum lagi ketika menikah kemudian hamil, persiapan menjadi orang tua tentu lebih menantang lagi.

 

Peran Menjadi Orang Tua pun Dimulai dari Sini

Keluarga Kecil Kami

Perjalanan mempersiapkan diri menjadi orang tua secara pribadi sudah dan sedang saya jalani. Kini saya sedang menikmati peran baru sebagai istri, juga ibu dari satu anak yang Insya Allah menuju dua anak di penghujung tahun ini. Jika ditanya bagaimana rasanya menjadi orang tua? Saya iyakan memang berat di awal. Bayangkan saja, dari manusia bebas yang dengan kepala sendiri bisa memutuskan pilihan, bergerak ke mana saja semau hati, kini harus mendapatkan arahan dan izin dari manusia lain bernama suami. Belum lagi ditambah tanggung jawab menjaga dan membesarkan anak, membuat saya yang asalnya sebebas merpati ini merasa “Oh begini ya ternyata menjadi orang tua”.

Namun kemudian saya memberdayakan diri, mencoba menyelami lebih dalam lagi kodrat sebagai orang tua. Akhirnya lama-kelamaan muncul penerimaan yang tulus untuk mengemban amanah Tuhan yang kelak akan dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti, anak-anak kami. Sudah dibekali apa saja anak-anak kami? Apa yang sudah kami lakukan? Apa yang sudah kami persiapkan? Ya, pertanyaan-pertanyaan itu yang menjadi latar belakang kami sebagai orang tua, merasa harus memberikan totalitas waktu 24 jam / 7 hari untuk terlibat dalam pendidikan anak-anak kami. Dibuatlah rumah kami sebagai basis utama pendidikan anak-anak. Di dalamnya ada kami sebagai pendidik utama, yakni ayah sebagai kepala sekolah, dan ibu sebagai guru.

Rumah dan orang tua adalah pilar utama pendidikan keluarga. Jika ayah sudah ditetapkan sebagai kepala sekolah, dan ibu sebagai guru, lantas haruslah dibuat kurikulum atau pola pendidikan yang dijadikan landasan mendidik. Namun karena setiap keluarga itu unik, maka tidak bisa diberikan pola yang sama. Tapi setidaknya para orang tua memahami elemen dasar yang seharusnya ada dalam pola pengasuhan anak-anak di lingkup keluarga, seperti:

 

 

 

 

Pondasi pendidikan keluarga yang utama adalah iman, dan orang tua wajib menanamkan nilai-nilai luhur dalam agama yang dianut. Nantinya keimanan itulah yang menjadi tiang pondasi bagaimana anak tumbuh dan berkembang di kehidupan sosialnya. Melalui pendidikan iman dan akhlak lah akan lahir pribadi berbudi pekerti, dan siap hidup bermasyarakat.

 

 

 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh organisasi riset nirlaba terkemuka di Amerika Serikat Child Trends (CT), kehangatan dan kasih sayang orang tua ke anak akan memiliki manfaat luar biasa seumur hidup. Efeknya antara lain anak jadi memiliki harga diri yang lebih tinggi, kinerja akademis yang lebih baik, dan risiko alami gangguan psikologis juga lebih rendah.

Oleh karena itu, mendidik dengan pilar kasih sayang atau afeksi sangatlah disarankan untuk dilakukan penerapnnya pada anak. Caranya sendiri ada banyak, diantaranya adalah dengan sering mencium-memeluk dan membelainya, bermain bersama, memberikan senyuman yang tulus, juga membacakan buku sebelum tidur.

 

 

 

“Berikanlah ruang gerak untuk beraktifitas dan berkreasi, namun jangan lupa untuk menanamkan tanggung jawab di dalamnya.” Kurang lebih seperti itu kata-kata yang menjadi patokan kami dalam mendidik anak. Anak diberi keleluasaan bergerak, namun tetap diberi arahan untuk bertanggung jawab atas setiap tindakannya. Mulai dari  hal-hal kecil dan sederhana. Misalnya, meminta anak membuang kotak susu di tempat sampah, atau meminta anak untuk tidak mengompol di celana. Anak perlu diingatkan berulang kali sebelum ia bisa melakukannya sendiri tanpa disuruh. Jika ia lupa melakukannya, jangan diam saja, ingatkan! Sesederhana itu.

 

 

 

Di sini orang tua lah yang menjadi role model dalam pemberian stimulus perkembangan fisik, kognitif, bahasa, emosi dan sosial anak. Sebagai orang tua tentunya harus bisa memberi contoh yang baik bagi anak. Misalnya, kita menginginkan anak yang rajin shalat, bagaimana bisa si anak rajin shalat apabila orang tuanya saja tak pernah menyentuh air wudhu. Maka pastikan diri untuk selalu upgrade menjadi lebih baik lagi, karena kodratnya, menjadi orang tua memang akan selalu ditiru anak. Jika kita ingin anak menjadi baik, maka perbaiki dulu diri kita sendiri.

 

Keempat pilar tersebut, kami (saya dan suami) aminkan semoga mampu membuat keluarga menjadi institusi sosial terkecil yang menyenangkan sekaligus menguatkan tiang-tiang pondasi anak di masa depan. Pun tak bisa dipungkiri, bahwa lingkungan keluarga besar dan masyarakat adalah faktor utama dalam membentuk kepribadian anak. Terlebih bagi anak yang masih di bawah usia 5 tahun. Di masa kencananya, anak-anak butuh sosok teladan dan lingkungan yang baik dalam kesehariannya. Semenantang apapun praktek penerapannya, akan tetap membuat kami percaya bahwa keterlibatan kami sebagai orang tua dalam pendidikan anak pasti akan membuahkan hasil yang baik kelak.

Begitupun ketika anak mulai menginjakkan kaki di dunia sekolah. Anak memang berada di luar rumah selama beberapa jam, namun bukan berarti orang tua lantas memasrahkan segala hal mengenai pendidikan anak pada sekolah. Jim Trelease dalam bukunya berkata “Matematikanya sederhana: anak menghabiskan 900 jam setahun di sekolah dan 7.800 jam di luar sekolah. Guru mana yang punya pengaruh lebih besar? Tempat mana yang lebih bisa memberi perubahan.” Tentu jawabannya orang tua, rumah dan keluarga bukan?!

Ibu Sri Mulyani Saat Berorasi Tentang Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan Anak.

Sumber Foto: www.theonlinecitizen.com

Kalimat Ibu Sri Mulyani di atas merupakan potongan orasi ilmiah dalam rangka dies natalis Universitas Negeri Semarang pada 30 Maret 2017 lalu. Ibu Sri Mulyani pun menjelaskan bahwa pendidikan adalah proses terus-menerus dari rumah, sekolah, ke masyarakat, dan kembali ke rumah lagi. Keseluruhan proses itu adalah proses belajar bagi seorang pelajar yang nantinya akan menjadi manusia Indonesia yang tangguh.

Hal ini menjadi penegasan bahwa peran orang tua dan pelibatan keluarga sangat sentral dalam meningkatkan performa siswa. Keterlibatan orang tua adalah cara yang murah namun efektif dalam meningkatkan kinerja sistem pendidikan. Sekolah dan orang tua harus menjadi mitra dalam pendidikan anak. Jadi, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia itu bukan hanya tugas pemerintah saja, tapi juga tugas orang tua dan keluarga.

 

Tantangan Mendidik Anak di Era Kekinian

 

Gawai, Internet dan Televisi

Ya, semua pasti bisa menebak, tantangan pertama mendidik anak di era kekinian adalah penggunaan gawai, internet dan televisi oleh anak. Bagaimana tidak? Di era kekinian dengan segudang perangkatnya yang canggih  ini faktanya memang memunculkan permasalahan baru, khusunya dalam perilaku anak seperti kecanduan game, bullying, penurunan motivasi belajar, penyimpangan moral, rendahnya keterlibatan sosial di masyarakat, dan lain-lain.

Tapi sesunguhnya, yang pertama akan saya bahas bukanlah pengaruh gawai, internet dan televisi pada anak, tapi justru pada orang tua.

Tidak saya pungkiri, bagi saya, juga mungkin bagi orang  tua yang sedang membaca tulisan ini, bahwa gawai sudah termasuk ke dalam daftar kebutuhan primer. Rasanya ada yang hampa ketika tangan ini tidak memegang gawai dengan seperangkat kecanggihan di dalamnya. Termasuk para ibu yang disibukkan dengan urusan rumah tangga, tentu pernah menyempatkan diri menonton drama korea di televisi, sesekali membalas pesan di whatsapp, atau sekedar like dan memposting foto di media sosial. Sepertinya para ayah pun demikian, mengaku saja lah, pasti pernah kan dengan sengaja berlama-lama mengurung diri di toilet hanya untuk bermain game ? Atau pernah tak sadar bersikap tak acuh pada istri dan anak saat dengan asyik menonton pertandingan sepak bola di televisi. Ah apapun bentuknya, akui saja bahwa gawai, internet dan televisi adalah bagian dari kebutuhan.

Lantas bagaimana dengan anak-anak? Apakah mereka bahagia dengan situasi dimana orang tuanya lebih asyik dengan gawai mereka dibandingkan dengan anaknya sendiri? Tentu saja tidak. Ini yang pernah membuat saya tertampar dan mulai mengurangi intensitas bermain gawai.

Tulisan Anak SD yang Berharap Gawai Tidak Pernah Diciptakan.

Sumber Foto: https://politicalreporter.net

Seorang guru kelas dua sekolah dasar di Lousinana Amerika Serikat, bernama Jen Adams Beason mengunggah sebuah essay hasil karya muridnya di Facebook. Essay tersebut merupakan tugas yang diberikan Beason kepada 21 muridnya. Ia meminta para muridnya untuk menggambarkan sesuatu yang mereka harap tidak pernah diciptakan di masa lalu. Tanpa diduga, ternyata 4 dari 21  murid Beason berharap ponsel atau gawai tak pernah diciptakan di dunia. Salah seorang anak menulis tulisan di atas, bahwa dirinya tidak menyukai gawai. “Saya tidak menyukai gawai karena orang tua saya selalu terpaku pada gawai mereka setiap harinya. Gawai kadang merupakan kebiasaan yang sangat buruk,” Si anak pun menggambarkan ponsel atau gawai dan mencoretnya dengan tanda silang, sekaligus menggambarkan wajah sedihnya dengan tulisan “I Hate It“.

Miris bukan? bagaimana rasanya jika kekecewaan tersebut terjadi pada anak kita? Kecewa karena ayah ibunya lebih memperhatikan gawai daripada dirinya? Maka saran saya, buatlah kesepakatan dengan suami untuk tidak memegang gawai sama sekali ketika sedang bersama anak, kecuali dalam kondisi mendesak yang mengharuskan untuk mengoperasikannya.

Tantangan orang tua milenial tak hanya sampai di situ saja, justru tantangan sebenarnya adalah ketika gawai berada di tangan si anak. Ini nyata saya lihat di lingkungan sekitar saya, bahwa ternyata banyak orang tua masa kini yang lebih mempercayakan pengasuhan anak-anaknya pada gawai dibandingkan mengajaknya bermain di luar. Dengan alasan “biarin biar anteng (tenang, diam)”, anak dibiarkan memegang gawai selama berjam-jam bahkan seharian. Ada yang menonton video di youtube, ada yang main games, juga ada yang malah asik selfie. Kemudian ketika anaknya benar-benar tak bisa diajak bicara tatap muka, dan tak bisa mengalihkan matanya dari layar gawai, para orang tua sedih-kecewa-menyesal.

 

Infografis Oleh Penulis

Padahal di era kekinian ini, banyak video di youtube yang menjadikan most views dan popularitas menjadi faktor utama, mereka sudah tidak peduli lagi dengan konten video yang dibuatnya, yang penting terkenal. Bayangkan apabila konten tersebut ditonton oleh anak-anak yang pre-frontal cortex di otaknya belum sempurna? Bersumber dari catatan instagram sekolah stimulasi anak yang bernama The Learning Castle & Reading is Fun, pre-frontal cortex ini berfungsi untuk mengambil tindakan benar atau salah dengan pertimbangan, bukan sekedar tindakan impulsif.  Maka, jagalah anak kita dengan cara bijak menggunakan gawai.

Berikut video dari TED Talk yang berjudul “The nightmare videos of childrens’ YouTube — and what’s wrong with the internet today” yang menjelaskan tentang seperti apa internet masa kini. Silahkan ditonton, semoga bisa menginpirasi orang tua agar membuka mata dan lebih berhati-hati menjaga anaknya dari internet dan video-video di internet.

 

 

Memang, dengan kecanggihan teknologi di generasi sekarang ini sangat sulit melarang anak bermain gawai. Di rumah mungkin dilarang, bisa jadi di luar rumah ia meminjam atau dipinjamkan temannya. Kita pun tak bisa menutup mata bahwa gawai memiliki dampak positif bagi anak, diantaranya mendukung aspek akademis, meningkatkan kemampuan berbahasa, hingga meningkatkan ketrampilan matematis. Maka dari itu, gawai memang bukan untuk dihindari, tapi  didampingi orang tua. Berikan batasan !

Berikut cara jitu agar anak tidak kecanduan gawai dalam bentuk infografis yang saya buat, dengan data yang  bersumber dari website Sahabat Keluarga Kemdikbud

 

Infografis Oleh Penulis

 

Orang Tua Terlalu Sibuk Bekerja

Penelitian Harvard Family Research Project’s (HFRP) memperlihatkan bahwa keterlibatan orang tua memiliki kaitan erat dengan hasil prestasi anak. Penemuan ini secara konsisten telihat pada indikasi-indikasi kesuksesan anak, seperti nilai, skor tes yang memiliki standar, atau metode pengukuran lain termasuk penilaian guru. Itulah sebabnya sekolah yang baik adalah sekolah yang memberikan tempat bagi orang tua untuk ikut terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka. Bagaimana orang tua dan keluarga secara totalitas melibatkan diri adalah kunci utama dalam meningkatkan prestasi anak dan juga menjaga kedewasaan mentalnya. Memang, perhatian orang tua dapat berupa pemberian bimbingan dan nasihat, pengawasan terhadap belajar, pemberian motivasi dan penghargaan, serta pemenuhan fasilitas belajar. Namun tahukah, bahwa yang paling dibutuhkan anak selain perhatian di atas adalah KEHADIRAN dan KETERLIBATAN orang tuanya? Berilah waktu khusus untuk menemani anak bermain, mengerjakan PR, juga membaca buku favoritnya. Sejenak simpan dulu pekerjaanmu, bukankah anak lebih prioritas dibanding karirmu?

Jika masih bingung bagaimana cara mengelola kesimbangan waktu antara pekerjaan dan keluarga, silahkan tonton video berikut. Video Seri Pendidikan Orang Tua dari Sahabat Keluarga tentang Mengelola Pekerjaan dan Keluarga oleh Bambang Syumanjaya, Praktisi Pendidikan Keluarga.

 

Banyaknya Sekolah Dini atau Baby Schooling

Tantangan orang tua generasi milenial selanjutnya adalah dengan tetap berperan serta pada pendidikan anak, meski anak dari sedini mungkin sudah masuk lembaga pendidikan bernama sekolah. Kita tidak bisa berpura-pura tidak tahu bahwa di perkotaan sudah menjamur sekolah-sekolah khusus bayi bahkan dari bayi berumur dibawah 12 bulan. Hal ini dilatar belakangi dengan semakin banyaknya orang tua modern yang ingin memiliki anak pintar dan kompetitif. Oleh karena itu, mereka mulai berpikir untuk menyekolahkan anak-anaknya sejak dini, walaupun dengan biaya yang tidak sedikit.

 

Bayi yang Sedang Diajarkan Di Sekolahnya. Sumber: Google

Menurut pemikiran saya, tidak ada yang salah dengan menyekolahkan anak bahkan sejak bayi, asal memenuhi syarat keamanan, pemenuhan kebutuhan stimulasi lewat bermain, kemampuan bersosialisasi, juga pemantauan tumbuh kembang bayi. Namun perlu juga diketahui bahwa istilah the sooner the better dalam menyekolahkan anak belum tentu tepat. Karena sesungguhnya penjagaan, perawatan, pengasuhan dan pendidikan dari orang tua lah yang anak butuhkan. Kecuali memang orang tua ingin mengetahui cara menstimulasi bayi secara tepat oleh ahlinya.

Orang tua mungkin bisa saja mendelegasikan pengajaran kepada kaum ahli, tetapi pendidikan anak tetaplah menjadi tanggung jawab orang tua. Peran orang tua tidak akan tergantikan oleh sekolah, lembaga pendidikan, ataupun lembaga pengembang bakat. Saran saya, agar orang tua tetap harus berpartisipasi untuk menstimulasi anaknya. Kalau perlu, terlibat langsung di kelas saat proses belajar di sekolah.

 

Libatkan Diri dalam Pendidikan Anak Melalui GERNAS BAKU










 

Sumber: Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Website: sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id

Facebook: @SahabatKeluargaKemdikbud

Instagram: sahabatkeluargakemdikbud

Twitter: @ShbKeluarga

Youtube: Sahabat Keluarga

 

 

Rumah Tanpa Buku, Laksana Tubuh Tanpa Jiwa

Saya, Saat Membacakan Dongeng pada Anak

 

Sadar bahwa GERNAS BAKU adalah serangkaian upaya yang salah satunya untuk mendekatkan orang tua dan anak, juga upaya mencetak generasi-generasi hebat di masa yang akan datang, maka saya dan suami sepakat untuk ikut mempraktekannya di rumah. Salah satunya adalah dengan belajar menjadi pendongeng. Saya mengumpulkan buku-buku dongeng dan membacakannya bahkan sejak anak kami masih di dalam kandungan. Setelah dilahirkan, buku semakin dikenalkan lebih dekat, selain menjadi alat untuk menyampaikan pesan-pesan, buku pun dijadikan media untuk melatih sensorik motoriknya. Karena jika mendekatinya saja tidak mau, takut, khawatir dan ragu-ragu, bagaimana mungkin mereka mau membacanya?

 

Anak Saya Bersama Buku Favoritnya

 

Otak Manusia Suka Asupan Cerita Dongeng

Paul J. Zak, profesor ekonomi, psikologi, dan manajemen Claremont Graduate University dalam penelitiannya yang berjudul “How Stories Change the Brain” mengungkapkan, sebagai makhluk sosial yang secara teratur berinteraksi dengan orang lain, cerita merupakan cara yang efektif untuk mengirimkan informasi penting dan nilai-nilai. Selain itu, cerita pun dapat menginspirasi, menggerakkan manusia untuk menangis, mengubah sikap, opini, perilaku, bahkan mengubah otak menjadi lebih baik.

Cerita dongeng pun mempunyai efek yang kuat untuk perkembangan emosional anak. Ajaibnya, dongeng pun dapat memainkan peran penting dalam membentuk ikatan batin yang kuat antara anak dan orang tua. Menurut Raja Dongeng Indonesia, Kusumo Priyono, “Mendongeng menstimuli imajinasi dan kreativitas anak. Karena dongeng yang diceritakan kepada anak akan membentuk wujud, suara, warna dan detail di dalam pikiran anak tersebut sehingga imajinasi mereka akan berkembang. Anak juga akan terangsang untuk membaca karena dongeng.”

Infografis Oleh Penulis

 

Orang Tua pun Perlu Memperkaya Ilmu Pengasuhan

Jika pendidik di sekolah saja secara berkala mendapat pelatihan untuk meningkatkan kemampuan, maka sudah selayaknya orang tua juga memberdayakan dirinya untuk menambah ilmu dan kemampuannya. Selain belajar menjadi pendongeng, kami sebagai orang tua  pun memberdayakan diri melalui buku-buku mengenai pengasuhan, khusunya mengenai pendidikan literasi, diantaranya lewat buku How To Teach Your Baby To Read dan The Read Aloud Handbook.

Buku How To Teach Your Baby To Read Karya Glenn Doman

Buku karya Glenn Doman ini adalah buku terbitan tahun 1964 yang sudah dibaca jutaan orang tua di berbagai belahan negara. Doman mengatakan, semua bayi terlahir dengan kecerdasan linguistik. Mereka terlahir tanpa mengerti bahasa apa pun, tapi bisa belajar serta mengerti dengan meniru orang sekitarnya. Metode yang diterapkan sangat sederhana, anak diajari membaca hanya dalam 90 detik sehari dengan menunjukan sebuah kata yang ditulis pada lembaran-lembaran kartu, maksimal 3 kali sehari. Di Indonesia, metode ini sudah dipraktekan oleh banyak orang tua, bahkan public figure seperti Kak Seto dan penyanyi Andien Aisyah. Saya sendiri sama sekali tidak berekspektasi apapun, apalagi berharap anak saya bisa membaca di usia nya yang masih dini. Namun saya memanfaatkan metode ini dengan sudut pandang yang berbeda, yakni membaca dijadikan sebagai permainan yang menyenangkan antara anak dan orang tua. 

Anak Saya Saat Membaca Sambil Bermain dengan Metode Glenn Doman

Kebiasaan membaca yang tumbuh sejak kecil selain baik untuk perkembangan otaknya, juga membuat anak bisa lebih berpikir rasional dan lebih mampu mengendalikan diri. Intinya, kebiasaan membaca sejak kecil akan memperkaya wawasan anak yang bermuara pada jati diri manusia yang lebih berkualitas. Semakin dini seorang anak membaca, akan memupuk kebiasaan dan kecintaannya pada kegiatan membaca.

Buku The Read-Aloud Handbook Karya Jim Trelease

 

Buku kedua adalah karya Jim Trelease yang sudah dicetak sejak tahun 1979 dan menjadi 1 dari 75 buku paling penting yang pernah diterbitkan sejarah 75 tahun penerbit penguin. Buku ini memberikan kita pemahaman tentang apa, mengapa, serta bagaimana cara membaca lantang kepada anak. Lebih dari itu, Jim Trelease pun memberikan pandangannya mengenai isu-isu pembelajaran digital menggunakan e-book, perpustakaan modern dan pengaruh teknologi digital seperti televisi dan audio book. Mengenai membaca lantang, hal ini merupakan kegiatan  membacakan buku kepada anak-anak dengan suara lantang penuh intonasi, seperti membacakan dongeng (story telling). Tujuannya adalah untuk memotivasi anak agar senang membaca. Bagaimana bisa ? Karena membacakan lantang adalah sebuah aktivitas sederhana yang tidak dapat disambi, maka anak akan berpikir bahwa aktivitas ini adalah waktu terbaik orang tua memperhatikannya, anak akan ketagihan dengan kegiatan tersebut. Memang terkesan sederhana, namun ternyata ketika kita membacakan buku kepada anak sesungguhnya kita :

1. Sedang membangun kosakata anak.

2. Mengkondisikan otak si anak untuk mengasosiasikan membaca dengan kebahagiaan.

3. Menciptakan informasi yang berfungsi sebagai latar belakang.

4. Memberikan sosok panutan yang gemar membaca.

5. Menanam kegemaran membaca.

6. Mempererat ikatan antara orang tua, anak dan buku.

 

Suami Saat Membacakan Buku Pada Anak Kami

 

OECD Organisation for Economic Co-operation and Development telah membuktikannya lewat sebuah riset.  Bekerja sama dengan industri nasional, OECD telah mewawancarai orang tua dari 5000 siswa yang turut terlibat dalam perusahaan pemberi ujian, menanyakan apakah mereka pernah membacakan untuk anak-anak mereka ketika duduk di kelas 1 dan seberapa sering membaca buku. Hasilnya menunjukan kaitan yang sangat erat: semakin sering mereka dibacakan, semakin tinggi nilainya pada saat dia berusia 15 tahun, terkadang manfaatnya setara dengan bersekolah satu semester.

Layaknya tiang yang menopang berdirinya sebuah rumah, kata-kata adalah struktur utama dalam pembelajaran. Hanya ada dua cara efisien memasukan kata-kata ke dalam benak seseorang: yakni melalui mata atau telinga. Karena anak masih membutuhkan banyak waktu untuk bisa membiasakan matanya membaca, maka sumber terbaik bagi ide dan pembangunan otaknya adalah telinga. Lewat buku ini, saya pun sepakat bahwa membaca adalah jantungnya pendidikan. Pengetahuan dari hampir semua mata pelajaran mengalir dari membaca. Orang harus mampu membaca soal cerita matematika untuk bisa memahaminya.

Berikut saya buatkan video sederhana tentang manfaat membaca lantang yang saya dapatkan sumber datanya dari website sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id

Pakar pendidikan Bukik Setiawan mengatakan

“Pokoknya pendidikan harus terletak di dalam pangkuan ibu bapa, karena hanya dua orang inilah yang dapat berhamba pada sang anak dengan semurni-murninya dan se-ikhlas-ikhlasnya, sebab cinta kasihnya kepada anak-anaknya boleh dibilang cinta kasih tak terbatas.”

Lewat membacakan buku kepada anak, berarti orang tua sudah ikut terlibat dalam pendidikan literasi buah hati. Harapannya, semoga Negara Indonesia dipenuhi dengan anak-anak hebat yang mampu berfikir kritis, kreatif, komunikatif, dan mampu berkolaborasi dengan masyarakat global.

Selamat tumbuh dan berkembang bersama buah hati tercinta. #sahabatkeluarga

 

Sumber :

Penggunaan kata orang tua (dipisah) berdasarkan https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/orang%20tua

http://greatergood.berkeley.edu/article/item/how_stories_change_brain

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/m/index.php?r=tpost/xview&id=4763

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/m/index.php?r=tpost/xview&id=4762

https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/m/index.php?r=tpost/xview&id=3750

https://www.statista.com/chart/1604/media-use-among-kids-under-8/

https://www.liputan6.com/health/read/3550806/manfaat-hebat-kasih-sayang-orangtua-untuk-masa-depan-anak

http://www.parenting.co.id/usia-sekolah/peran-orang-tua-dalam-pendidikan-anak

OECD, PISA 2009 Results : overcoming social background: equity in learning opportunities and outcomes, Vol II, hlm 95

Trelease, Jim. 2017. The Read-Aloud Handbook. Mmebacakan Buku dengan Nyaring, Melejitkan Kecerdasan Anak. Jakarta: Noura.

Doman, Glenn. 2009. How To Teach Your Baby To Read. Bagaimana Mengajar Bayi Anda Membaca Sambil Bermain. Jakarta: Tigaraksa Optima Perkasa.

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/04/03/073000926/sri.mulyani.peran.orang.tua.indonesia.dalam.pendidikan.masih.minim

https://axa.co.id/inspirasi/pentingnya-keterlibatan-orang-tua-dalam-pendidikan-anak-2/