Langit sangat gelap, tanda hujan akan segera turun. Saya dan Una, si anak pertama, pun berlarian menuju rumah saat rintik hujan pelan-pelan membasahi tanah. Tentu saja saya berlari pelan, karena saat itu saya sedang hamil anak kedua.
Tiba di rumah, saya bergegas mengangkat jemuran di halaman belakang. Benar saja, belum semua diangkat, hujan pun turun dengan lebatnya. Saya sempoyongan mengangkat jemuran yang sudah beranak cucu hasil penumpukan selama 5 hari. Mungkin karena tidak seimbang, entah kenapa saya pun terjatuh. Brukkk, semua jemuran jatuh ke tanah, basah dan kotor. Saya? Tentu saja meringis kesakitan menahan badan agar tidak jatuh ke arah depan, bersyukur perut saya tidak terbentur apapun. Saat detik itu pula saya melihat Una dengan riangnya sedang berlari ke depan rumah, ia main hujan yang diiringi petir. Entah kekuatan dari mana, saya berdiri seketika dan mengejar Una yang semakin menjauh dari rumah.
Setengah mati saya mengejar Una. Setelah tertangkap, saat itu juga tangis saya pecah, bersahutan dengan petir yang menyambar-nyambar. Bukan…bukan karena takut petir, ataupun karena jemuran yang jatuh, tapi karena saya lelah, melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan, saat suami harus pergi bekerja.
***
Ya, saya pernah sesedih itu menyadari kenyataan bahwa mengurus anak dan menyelesaikan pekerjaan rumah, sekaligus mengerjakan pekerjaan freelance bukanlah perkara mudah yang segalanya bisa dilakukan sendiri.
Namun, untuk mempekerjakan ART (Asisten Rumah Tangga) atau tidak, itu adalah pilihan masing-masing keluarga.
Memilih untuk mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga tanpa bantuan ART memanglah hasil keputusan saya dengan suami. Maklum, satu tahun setelah menikah, kami masih tinggal di kontrakan. Dengan perhitungan bahwa kontrakan yang kami tinggali ukurannya tidak besar, maka saya meyakinkan diri bahwa urusan membersihkan rumah bisa saya lakukan sendiri. Cuci baju setrika? Bisa saya serahkan ke laundry. Tak sempat masak? Saya bisa beli. Saya pun tak ingin menyerahkan pengasuhan anak saya kepada orang lain. Alasan utama bukan soal krisis kepercayaan, hanya saja saya tak ingin sedikitpun melewatkan momen pertumbuhan si kecil. Saya ingin belajar menjadi ibu dengan berguru langsung pada anak saya sendiri.
Jadi, satu tahun pertama pernikahan, saya lewatkan sendiri mengurus bayi di kontrakan kecil tanpa ART.
Tepat di hari ulang tahun anak kami yang pertama, tibalah saatnya pindah menempati rumah baru di kota sebelah. Satu hingga dua bulan bisa saya lewati tanpa keluhan. Membersihkan rumah, mencuci baju, mencuci piring, masak dan mengasuh anak, saya lakukan sendiri. Wow, saya pun takjub.
Namun nyatanya semakin hari terasa semakin “agak” keteteran karena saya pun harus menulis dan membuat grafis. Lalu saya menyerah? Oh tidak dong, saya kumpulkan semangat dan tetap menjalani hari dengan hati riang gembira sukacita bahagia..sentausaaa. Padahal mah udah open recruitment ART sih, tapi setelah wawancara 2 kandidat, hati yang paling dalam (beuh) tidak merasa cocok.
Daily Schedule
Saya harus bangun jam 03.30 subuh untuk mulai memasak sayur dan lauk yang potongannya sudah disiapkan sejak malam hari. Lanjut memasak dengan ekstra cepat karena dalam jangka waktu satu jam-si anak bayi akan terbangun mencari induknya (walaupun ada bapanya). Dalam satu jam, masakan selesai, lanjut mandi dan shalat subuh, kemudian gantian menjaga bayi-sementara ayahnya juga mandi dan shalat subuh. Selanjutnya saya memandikan si bayi, menyuapinya, menemaninya bermain sambil mencuci baju, menyapu rumah sambil menggendongnya, mendongenginya hingga tidur siang, dan mencuri waktu untuk makan sambil cek jemuran udah kering apa belum.
Saat si bayi terbangun untuk kembali bermain, tak jarang saya pun mencicil pekerjaan. Sebagai freelancer content creator, membuat tulisan dan beberapa grafis sederhana adalah kegiatan stress release yang menyenangkan, hobi yang dibayar. Namun pernah juga suatu hari, ketika saya sedang asyik di depan laptop, Una dengan riang gembiranya membuat lukisan di lantai dengan lipstick kesayangan…Meski tak pernah optimal dan seringnya dilanjutkan saat tengah malam, namun saya tak pernah menyesal dengan keputusan untuk bekerja di rumah sambil mengasuh anak tanpa ART.
Kegiatan di sore hari biasanya cenderung santai. Setelah saya dan Una selesai mandi, kami biasanya jalan-jalan keliling komplek, silaturahmi dan mengobrol dengan tetangga. Pulangnya lalu memegang sapu dan mengerahkan kekuatan seribu tangan untuk merapikan isi rumah yang lebih mirip kapal pecah.
Begitulah setiap hari… kedatangan suami sepulang kerja adalah waktu yang paling dinanti.
Tapi ketahuilah, semua ini tidak mudah, karena pada kenyataannya sangat menantang untuk dijalani. Apalagi saat kita sakit, mual muntah saat hamil misalnya, dududu rasanya ingin pulang kampung saja, bersantai di rumah orang tua. Lah tapi kan tidak mudah bukan berarti tidak bisa dijalani, life must go on, kenyataannya adalah…kita juga sudah jadi orang tua, sudah jadi istri dan ibu dari dua orang yang juga membutuhkan keberadaan kita di rumah. Ya ndak bisa lari dari kenyataan toh.
Selalu Terselip Hikmah
Bertahan hidup mengurus anak dan menyelesaikan pekerjaan rumah tanpa ART mungkin terlihat sulit. Namun ada banyak hikmah dibaliknya, diantaranya:
1. Mau tak mau saya jadi MAU belajar masak, dan harus masak setiap hari. Kalau tidak? Satu rumah bisa kelaparan, karena di daerah rumah kami tak ada warteg. Bukannya ada go food?!! Ya sesekali boleh sih, tapi kalau setiap hari ya bangkrut dong ah.
2. Memupuk kemandirian yang selama ini sempat hilang. Karena jujur, saya adalah tipikal pemalas yang butuh waktu berjam-jam untuk mau mencucui piring, mencuci baju, apalagi menyetrika. Tapi kini? Semua saya lakukan dengan semangat, karena jika bukan saya yang ekseskusi, ya siapa lagi?
3. Jadi belajar mencari trik-trik menyelesaikan pekerjaan rumah dengan cepat. Misal: a) agar cucian piring bekas masak tidak menumpuk, maka ketika menunggu masakan matang, saya mencicil piring dan peralatan masak untuk dicuci. b) Setelah makan, wajib cuci piring dan gelas bekas sendiri. c) Mencuci pakaian dalam masing-masing ketika mandi. d) Melakukan food preparation saat weekend, kalau tak sempat…minimal memotong sayur dan lauk yang akan dimasak besok pada malam hari.
4. Lebih kompak dengan suami, karena mau tak mau kami harus membagi tugas rumah tangga dengan adil. Tak jarang suami saya masak, nyapu dan ngepel di saat weekend. Saya pun bebas tugas dari kegiatan mengasuh Una seharian. Efeknya? Tentu saja jadi makin cinta, dan keluarga kami semakin hangat.
5. Dan yang terpenting adalah, jadi lebih menghargai waktu kebersamaan setiap suami libur bekerja. Apalagi kalau diajak jalan-jalan dan makan di luar, bahagianya luar biasa. Padahal dulu waktu masih single, makan di luar adalah hal biasa yang dilakukan setiap hari…hehe
6. Jadi mahir mengatur waktu. Dengan menjadi IRT tanpa ART, otomatis saya harus mengerjakan sesuatu dengan cepat dan tepat waktu sesuai yang saya rencanakan. Oleh karena itu, timeline to do list per hari selalu saya buat. Jam 5 saya wajib sudah mandi dan solat, jam 8 anak harus sudah makan, jam 9 anak main, begitu seterusnya. Termasuk pekerjaan yang dikejar deadline, saya selalu targetkan untuk bisa menyelesaikannya di tanggal yang sudah ditentukan. Tulisan bisa dicicil di note saat anak tidur, saat anak main di rumah tetangga, atau kapanpun saat sempat. Management waktu ini sangat penting, terbukti walaupun tagihan kerjaan tak pernah sepi, saya masih sempat ngeblog dan memenangkan beberapa lomba blog. Alhamdulillah
Itulah, pengalaman penuh pembelajaran yang saya dapatkan dari mengurus anak sambil bekerja dari rumah tanpa ART. Senang sedih tetap dijalani. Jika ingin mencoba, siapkan saja tenaga dan kesabaran dua kali lipat dari biasanya. Dan yang terpenting dari segalanya adalah “jangan lupa untuk mencintai diri sendiri dan jangan sungkan meminta bantuan suami.”
Sebelum mendedikasikan diri untuk anak dan suami, beri perhatian dulu kesehatan kita, karena jika kita sakit…hmm runtuhlah dunia persilatan. Eh, sehat jiwa juga ya…harus tetap waras loh. Ya kalau saya sih obatnya belanja online heheh.
Mungkin saat ini segalanya terasa melelahkan, tak apa Mak, karena anak kita tak akan selamanya menjadi anak kecil, tak akan selamanya pipis sembarangan, mengacak-ngacak makanan, juga tak akan selamanya pula rumah berantakan seperti kapal pecah. Pada saatnya nanti, justru kita akan merindukan kelelahan ini, lelah yang tetap membuat hati bahagia. Melihat anak-anak sehat dan tumbuh dalam dekapan kita , juga merupakan nikmat yang harus disyukuri. Karena janji Allah itu nyata…kau akan mendapatkan pahalamu kelak, maka ikhlaslah melakukannya.
Kini saya sudah melahirkan anak kedua, artinya saya harus merawat 3 bayi…yang satu berumur 1 bulan, satunya lagi berumur 2 tahun dan bayi besar berumur 27 tahun hehehe (bapanya).
Repotnya mengurus 2 batita sudah terasa meskipun kini saya masih numpang lahiran di rumah orang tua. Waaah gimana nanti ya di rumah sendiri? Untuk merawat kewarasan, apa kini saya wajib punya ART? Hmmm kita liat nanti ya 🙂 tapi kalau ada yang mau kasih saran, boleh ya kita ngobrol di kolom komen 🙂
Salam
Aku juga anak 3 tanpa ART, bukan ga punya duit sih… tapi karena sayang duit aja hahahahaha dan ternyata bisa dilalui dengan waras ko.
Ajarin biar tetep waras dunks…uumm Duitnya bisa buat belanja belenji ya buuk 😀
Duuh ndah, jadi mikirin juga nih. Gue pake ART ga ya nanti..
Hihihi coba disesuaikan sama kemampuan aja siis..
Wkwkwk samaaa mba! Aku pas anak pertama masih ada ART karena akunya kerja, pas anak kedua ini full single fighter. Wuahh remuk redam hahahaha. Apalagi skrg tambah jd sopir tembak, manteb pisan. Tapi emang kudu setrong deh jadi emak mah. Semangat yak!
Nah aku masih meraba-raba nih mba, masih bisa ga ya punya dua bayi gini tanpa ART hihi. Ntar aku minta tips nya ya mbaaa 😁
Woaaa thanks loh tips nya… saya mau praktekin ah cuci celana dalem pas mandi hihi
Praktekin lah praktekin 😀
Aku juga nguus 3 bayi. 2 bayi cilik 1 bayo besar 😆 Alhamdulillah tanpa ART sekarang. Awal2 pake sih krn aku masih menyusui 2 anak. Setelah yg 1 disapih lepas ART. Gimana biar tetap waras? Delegasikan yang bisa didelegasikan. Nggak usah masak, pakai catering. Nyetrika? Kalau lagi males sih laundry aja 😁 Intinya ga maksain harus kerjain semua. Karena yakinlah bahwa ngurus anak aja itu udah capek banget 😆 Dan semua pasti akan ada celahnya. Pasti dgn sendirinya kita bisa nemuin jalan yg paling cocok buat kita. Alhamdulillah aku juga masih bisa ngeblog sampai sekarang 😁
Semangat Mbak! Stay strong 💪
Hahahaha iya bener mba…aku begitu waktu di jakarta, sekarang udah pindah di daerah yg ga ada cateringnya, ga ada warteg, ga ada laundry wahahah jadi mau ga mau disikaaat sendiri. jaman sekarang ART jg susah dicari ya mba…jd kudu tetep setrong emang. Semangaaaaat
Akupun ngalamin itu, hamil sambil momong bayi tanpa ART. Entah kenapa gk nyaman aja kalo pake ART. InsyaAllah pengalaman itu bikin Kita makin setrooong ke depannya. Btw Nama anak kita samaan mbak, anakku panggilannya Una juga dirumah, salam ya buat dek Una dari kak Una, hehehe
Iya mba, aku merasa ga nyaman gitu kalo ada ART, kecuali sodara sendiri ya. Apa mungkin pengaruh sifat introvert ku ya… hehe entahlah. Wah salam kenal juga Kak Una, sehat selalu ya ❤️ Terimakasih sudah berkunjung Mba, salam hangat.