Seperti menapaki jejak-jejak masa kecil…

“Mak, kapan saya punya layang-layang?”
“Satu saat pasti punya”
“Ya, tapi kapan?”
“Ya, nanti.”
“Nanti itu kapan Mak?”
“Sabar atuh.”
“Sudah banyak sabarnya Mak.”
“Kurang sabar namanya, kalau ngeluh terus begitu. Suatu saat kamu pasti bisa punya layang-layang.”
“Pasti?”
“In sha Allah.”
“Kok in sha Allah Mak?”
“Yah, kan memang kalau Allah mengizinkan, pasti kamu punya.”
Yorick termenung, berpikir.
“Yang penting banyak meminta ke Allah.”
“Kan sudah Mak.”
“Sudah, jangan protes terus.”
Yorick mengangkat bahu, matanya tetap menatap layang-layang yang mulai tinggi terbangnya.
“Jangankan layang-layang. Pabriknya pun , kamu bisa punya.”

(Halaman 30)

 

Review Novel Yorick

 

 

Bukan, ini bukan Yorick Si Penuntun Arwah dalam online game League of Legend. Bukan pula aktor Belanda Yorick Van Wageningen. Yorick dalam novel ini adalah sosok pemuda sukses yang berjuang dari nol, melebarkan sayap-sayap bisnisnya hingga ke berbagai negara.

Masa kecilnya penuh dengan keterbatasan. Makan hanya dengan sepotong ubi, sepatunya bolong dan kebesaran, baju koko yang kekecilan, dan mobil-mobilan yang hanya jadi impian.

Namun ada sosok yang menguatkan, sosok ibu sekaligus guru yang membentuk karakternya menjadi sekuat baja. Mengajarkannya cara berjuang, cara bertahan hidup tanpa merepotkan orang lain, dan cara bersyukur walau keadaan serba kekurangan. Nenek yang memaksanya untuk tetap percaya bahwa “kamu bisa, jika kamu berpikir bisa!”. Sosok itu bernama Mak Encum, seorang nenek penyabar yang tangguh dan berbudi luhur.

Hidup berdua dengan Sang Nenek sejak usia satu tahun, membuat Yorick tumbuh menjadi pribadi pekerja keras dan tak mudah patah. Membantu nenek mencari kayu bakar, menemani nenek mengatur aliran air di sawah, dan menemani nenek ziarah kubur,  adalah bulir-bulir rindu yang menggenang di sudut hatinya, hingga saat ini.
Panjalu, Ciamis, menjadi saksi agungnya kekuatan cinta antara cucu dan nenek kesayangannya tersebut.

Terpisah dengan Mak Encum saat usianya 11 tahun adalah hal terberat dalam hidup Yorick. Berpindah ke kota besar untuk mengikuti Sang Nenek yang harus dirawat karena sakit, malah membuatnya semakin terpisah jauh dengan satu-satunya orang yang dimilikinya itu.
Berbagai penolakan dari keluarga besar ia dapatkan. Hinaan dan perlakuan layaknya sahaya menjadi makanan sehari-hari yang harus ia santap. Hingga akhirnya ia menggelandang tanpa tujuan. Tidur dari masjid ke masjid, pos jaga, bahkan emperan toko. Untuk makan sehari-hari hanya mengandalkan kerja serabutan. Menjadi tukang cuci piring, kuli panggul, membuka jasa service komputer, jasa edit foto, tukang ketik, hingga menjadi pesuruh di Gedung Sate. 

Namun bukanlah Yorick, jika hidupnya menyerah pada keadaan. Keseimbangan antara kecerdasan otak, kegigihan, kemantapan hati dan ketekunan, membuat dirinya jauh melompat mencapai kesuksesan.

Memunguti sedikit demi sedikit ilmu mengenai hardware hingga software dari orang-orang yang ia kenal, membuatnya menjadi seorang programmer yang mampu menciptakan produk digital bernilai milyaran rupiah. Hingga akhirnya kini, kesuksesan ada dalam genggaman tangannya. Ia mampu mendirikan holding company yang menaungi beberapa anak perusahaan yang bergerak di bidang teknologi, entertainment, keuangan, otomotif, bahkan properti. Jaringan bisnisnya telah tersebar di berbagai negara.

Namun, ada bayang nenek di pelupuk rindunya. Sosok nenek yang selalu menjadi Maha Gurunya, telah wafat sebelum ia tuntas membalas jasa.

Penasaan kan, seperti apa kisahnya? Teman-teman wajib baca Novel Yorick sampai habis ya.
Saya sendiri sungguh dibuat nano-nano oleh novel ini. Haru, sedih, marah, penasaran, bahagia, hingga tertawa-tawa sendiri ketika sadar banyak kemiripan kisah di masa kecil. Sampai suami saya bilang “Wah, Si Ibu lagi gila Yorick.” Hahaha

Iya hampir gila, karena terlalu banyak hal yang membuat saya kagum pada novel ini, diantaranya:

 

Cover yang Menyentuh

 

 

Gambar yang tertuang pada cover/sampul novel, menurut saya telah sukses membungkus kisah Yorick dengan apik. Meskipun belum membacanya, saya paham bahwa novel ini berkisah tentang nenek dan cucunya. Lekat memandanginya membuat hati saya langsung mendung, ingat nenek di kampung.

Sosok anak yang bersimpuh di kaki seorang ibu tua, berhasil menyampaikan pesan mendalam tentang cinta yang teramat besar antara nenek dan cucu.
Warna gelap dan hitam pun menambah kuat aroma pilu, yang secara visual sangat mengidentitaskan kesedihan, muram, penderitaan.

Namun ada cahaya terang di sudut kanan atas menyorot ke arah nenek. Secara semiotik, bebas saya artikan, bahwa cahaya itu adalah nenek yang selalu menjadi cahaya penerang di hati Yorick. *skripsi saya dulu tentang semiotika*

Ya walaupun don’t judge a book by its cover, tapi kenyataannya, cover Yorick telah berhasil menggoda saya untuk membacanya.

 

Tokoh yang Hidup

Yorick

Adalah Yorick, tokoh sentral dalam novel ini, secara fisik digambarkan menjadi dua, yakni Yorick kecil dan Yorick dewasa.

 

Yorick kecil yang dalam film diperankan oleh Sulaiman Andryan Bima.  Sumber: Instagram Yorick.id

 

Penggambaran Yorick kecil sebagai seorang anak SD berusia 11 tahun, berkulit putih, membuat saya dengan mudah menghidupkan imajinasi sosok Yorick pada Sulaiman Andryan Bima (pemeran Yorick kecil dalam Film Yorick yang tahun ini akan segera tayang).

Sepatunya yang berlubang di kedua jempol kaki, baju pramuka yang kancingnya terlepas, dan keterbatasan lain yang ia miliki, membuat Yorick kecil memiliki perasaan inferior. Perasaan rendah diri, minder dan merasa dirinya tak diterima oleh orang-orang sekitar.

Tokoh inferior pun pernah saya temui dalam Novel “Anak Menggapai Rembulan” karya Ridwan Abqary. Dimana tokoh utamanya memiliki kesadaran terhadap inferioritas diri, tak mau berteman, soliter dan merasa tak diterima. Begitupun dengan Yorick, kerap kali ditindas teman-teman masa kecilnya, membuat dirinya merasa orang sekitar menolak keberadaannya.

Namun seiring bertambahnya usia, terlihat Yorick melakukan berbagai upaya untuk mengatasi perasaan inferiornya tersebut, hingga akhirnya ia membuktikan diri, bahwa siapapun yang pernah dibully, yang pernah merasa dirinya lebih rendah dibandingkan orang lain, punya kesempatan yang sama untuk menggapai kesuksesan.

Secara sadar, saya sering tersenyum-senyum sendiri membayangkan tingkah Yorick kecil. Yorick yang mudah ngambek, Yorick yang penakut, namun juga Yorick yang penurut, pantang membantah amanah Sang Nenek.

Yorick kecil hidup dalam keseharian saya. Ketika saya dengan mudah menyisakan makanan, saya mengingat Yorick, ah ia hanya makan sepotong ubi. Makanan pun saya habiskan.
Ketika saya bisa saja membeli sepatu dengan harga yang tak biasa, saya ingat sepatu Yorick hanyalah sepatu bekas yang kebesaran, bahkan bolong di bagian kedua jempolnya. Lagi-lagi saya urungkan niat menghambur-hamburkan uang hanya untuk membeli barang yang tidak terlalu dibutuhkan. Sampai suatu ketika, saat suami meminta izin untuk keluar rumah, saya berpesan “Ayah, jangan lupa jenguk Yorick ya, kasian dia sendiri di rumah, ditinggalin Mak Encum.” Suami saya hanya menjawab “Oyeeee” sambil matanya juling ke atas. (Terjawab kan kenapa saya dibilang “gila Yorick” 😂)

 

Yorick dewasa (Achmad Megantara) dan Nevia (Nina Kozok). Sumber: Instagram Yorick.id

 

Sementara Yorick dewasa, secara fisik digambarkan sebagai sosok yang tinggi tegap sekitar 177 cm (hlm. 3), usia kepala tiga, bermata cerlang, dan berambut ikal.
Mungkin sebagian pembaca akan langsung mengimajinasikan sosok Yorick pada aktor yang akan memerankannya di film, Achmad Megantara.

Saat membaca novelnya untuk pertama kali, Megantara memang sempat berlalu lalang di kepala saya. Tapi tidak saat saya membaca novel Yorick untuk kedua kalinya, setelah saya melihat sendiri foto Yorick asli yang memang nyata adanya.

Yorick dewasa tidak lagi inferior. Dirinya mulai membuka diri, bersosialisasi dan mengakrabkan diri dengan orang-orang di sekitarnya. Hingga terpilihlah para sahabat yang ia anggap sebagai keluarga.

Metamorfosa Yorick menjadi manusia dewasa yang santun, gigih dan pekerja keras, tak lepas dari pola asuh Mak Encum.

 

Mak Encum

Mak Encum, diperankan oleh Ratna Riantiarno. Sumber: Instagram Yorick.id

Sosok Mak Encum sendiri secara fisik jelas tergambar dalam cover. Nenek berkebaya dengan balutan kain batik, menggunakan syal tebal di leher, dan kupluk rajut yang menutupi kepalanya. Penampilannya seperti nenek desa pada umumnya.

Pribadinya yang penyabar, bijak, pantang menyerah, pekerja keras, pandai bersyukur dan sederhana, menjadi kunci pembentuk karakter Yorick di masa kini.

Mak Encum yang nantinya akan diperankan oleh Ratna Riantiarno dalam Film Yorick, menjadi salah satu hal yang paling saya tunggu-tunggu. Sempat berfoto ketika menonton lakonnya dalam Teater Sie Jien Kwie Di Negeri Sihir tahun 2012 lalu, membuat saya kembali mengingat betapa senyum Ratna Riantiarno tergambar serupa dengan senyum Mak Encum yang saya imajinasikan ketika membaca bukunya.

 

Tokoh Pembantu

Tak lupa, tokoh-tokoh antagonis pun diceritakan dalam novel ini. Serupa dengan karya sastra pada umumnya, tokoh antagonis memang selalu berhasil memicu konflik dan membuat cerita menjadi lebih hidup. Adalah Yayan, Yana, Yanu, teman satu sekolah Yorick yang selalu mengejek dan menghina Yorick. Mereka berhasil membuat saya geram ketika sepatu Yorick dilemparkan kuat-kuat hingga tersangkut di atap sekolah.

Tokoh antagonis lainnya adalah Pak Cecep dan istrinya, Istri Pak Suharna dan istrinya, juga Bu Jaya, yang semuanya memperlakukan Yorick dengan kurang pantas. Mereka pun berhasil hidup dalam imajinasi saya sebagai orang-orang jahat yang ada dalam adegan sinetron azab Ilahi.

Terakhir, Novel ini pun menyelipkan tokoh-tokoh pembantu seperti Nevia dan Tia yang menghiasi kisah cinta Yorick, juga sahabat-sahabat setia yang mengiringi Yorick hingga ke puncak kejayaan. Ada Bapak Hanafi, Pak Kin, Rotten, Tejo, dan Iyan atau Yansen.

 

Cerita yang Membuat Saya Kecanduan
Yorick adalah cerita kedua tentang hubungan nenek dan cucu yang pernah saya ikuti. Sebelumnya, Film Korea berjudul The Way Home pun menuturkan kisah yang sama. Nenek tua renta yang hidup di desa, harus menjaga cucu kesayangannya. 

Menariknya, Novel Yorick ini mampu mengikat saya untuk terus membuka bab selanjutnya. Sampai di halaman 90 saja, saya masih mencari tahu dimana keberadaan Neneknya. Lagi dan lagi saya buka, hingga saya temukan jawabannya. Dari halaman ke halaman, hati saya membatin, kemana ayah ibunya? Kenapa Yorick dititipkan? Produk digital seperti apa yang Yorick ciptakan? Dimana Nenek Yorick? Kenapa, apa, bagaimana? Tensi keingintahuan terus meningkat hingga di setiap penghujung bab, yang akhirnya terpaksa saya lanjutkan ke bab-bab berikutnya. Sampai tak terasa buku terlahap habis hanya dalam dua hari (ini rekor untuk emak-emak dua anak batita seperti saya). Untungnya novel ini dibagi ke dalam bab-bab kecil. Hanya sekitar 6 sampai 10 halaman saja setiap babnya. Saya jadi bisa sejenak berhenti membaca, tanpa ada kisah yang terasa menggantung di ubun-ubun.

Alur maju mundurnya pun mudah dimengerti, sama sekali tidak membuat bingung, walau pembaca diajak menyelam ke masa lalu dan masa kini secara bergantian. Selain mampu mengaduk emosi, juga memberi efek penyegaran kepada pembaca. Setelah sedih dihadapkan pada cerita Yorick kecil yang sangat memprihatinkan, bab selanjutnya saya dihibur dengan uniknya setting Negara Beruang Merah, bayangan tenangnya Sungai Neva, juga adegan kisruh percintaan ala anak muda, Yorick dan Nevia.

 

Detail Cerita yang Terimajinasikan

Selain gugusan diksi yang selalu memikat, bahasa yang ringan, penulis pun mampu mendeskripsikan se detail-detailnya adegan. Misalnya, saat saya dibuat menganga pada adegan Yorick mengejar pencopet. Saya seperti masuk ke dalam jiwa novel, dan berganti peran sebagai Yorick. Merasakan kagetnya saat bertubrukan dengan gadis Rusia yang membawa barang belanjaan, hingga terasa sesak saat menyeruak diantara kerumunan orang-orang yang keluar masuk halte MRT.

Rusia, dan gerakan Yorick tergambar jelas dalam ruang imaji.
Sama halnya ketika Yorick berjalan di antara pematang sawah. Otak saya seperti otomatis memutar alunan suling bambu dan ikut merasakan angin segar pesawahan.

 

Edukasi Kearifan Lokal Suku Sunda
Kearifan lokal Suku Sunda memberi warna kental novel ini. Kebetulan saya lahir dan besar di Tatar Sunda, maka membacanya seperti sedang pulang kampung.

Budaya Sunatan
Diawali dengan ritual sunatan khas sunda, dimana anak lelaki muslim yang telah disunat, akan diperlakukan seperti pengantin, dipakaikan baju adat sunda, lengkap dengan hajatan meriah yang bermandikan suara degung sunda. Biasanya para tetangga ada yang nyecep (memberi amplop berisi uang), ada pula yang membawa baskom berisi buah, sayur, juga beras. Namun berbeda dengan kebiasaan di Subang, kampung saya. Sebelum prosesi sunatan, pengantin sunat diarak keliling kampung menaiki sisingaan (boneka singa besar), lengkap dengan suara tarling gitar dan suling) dan nyanyian sunda. Ah, lagi-lagi saya dibuat bernostalgia.

Bahasa Loma dan Bahasa Lemes
Di Tatar Sunda, ada dua ragam bahasa yang digunakan, yakni bahasa loma (bahasa akrab sehari-hari) dan bahasa lemes/hormat. Di Novel ini, baik bahasa loma maupun bahasa lemes diperkenalkan dalam percakapan. Seperti saat Bu Haji Ridwan menawarkan tumpangan ke Yorick dan Mak Encum “Bade ka mana? Hayu atuh sareng” (hlm. 49) yang merupakan bahasa lemes, dengan arti mau ke mana, ayo kita bareng. Bahasa ini biasanya memang ditujukan untuk orang yang lebih tua atau lebih dihormati.

Berbeda dengan bahasa loma. Bahasa ini dipakai saat mengobrol santai, pun terkadang ketika sedang marah, seperti “Batur rek kacai ditubruk! Dasar budak baong!” (hlm. 56). Orang mau ke air (buang air) ditabrak! Dasar anak nakal.

Makanan Khas Sunda
Pengenalan makanan-makanan khas Sunda pun tak terlewatkan. Gemblong, sagon, ketan, wajit, seroja, cireng, cilok, leupeut, galendo dan surabi oncom terbayang-bayang di kepala saya. Satu hal yang belum terbayang, karena saya pun baru pertama kali mendengar namanya di novel ini, jawadah takir, makanan khas Panjalu yang terbuat dari gula aren dengan parutan kelapa.

Hmm bau makanannya tercium sampai sini…

Budaya Sungkan dan Mangga
Pun tak terlewatkan budaya sungkan dan mangga khas Orang Sunda, digambarkan jelas pada keseharian hidup Mak Encum dan Yorick. Sungkan menerima bantuan orang lain, bersedia mengalah daripada membuang-buang tenaga, yang sesungguhnya menjadi budaya inferior yang komplek.
Hardjapamekas menyatakan ada anggapan bahwa orang Sunda memang cenderung daék éléh, sungkan meunang (bersedia kalah, sungkan menang), Sunda sadaya-daya (Sunda penurut) (Sumarsono 2003:146) yang menjadikan Suku Sunda gagap dalam regenerasi memberdayakan warisan leluhurnya. Jadi, memang sungkan dan mangga sudah membudaya di keseharian masyarakat sunda. Bahkan sudah mengurat nadi.

 

Pola Pengasuhan Mak Encum yang Bisa Ditiru

Yorick yang selalu menemani.

Pola asuh grandparenting atau menyerahkan pengasuhan anak kepada kakek/nenek, sesungguhnya tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di berbagai negara berkembang, bahkan juga di negara maju. Berseliwerannya penelitian para mahasiswa yang membahas tentang implikasi pola asuh grandparenting, beberapa kali sempat menyedot perhatian saya. Diantaranya kecenderungan adanya pola asuh yang bersifat permisif, yakni pola asuh yang memiliki kelonggaran dalam pengawasan. Segala hal menjadi ‘serba boleh’. Sehingga anak cenderung merasa bebas tanpa ada pengawasan yang cukup, dan lebih berani melawan, dengan alasan adanya jarak antar generasi yang terlalu jauh.

Namun pola asuh permisif tidak saya temukan pada cara Mak Encum mendidik Yorick. Malah Mak Encum memberikan banyak pelajaran mengenai pola asuh yang bisa saya tiru, diantaranya mengajarkan untuk:

1. Tegas mengajak anak agar tidak mudah menyerah: “Ulah keok memeh dipacok.” (hlm. 47)
2. Mengajak anak sebisa mungkin mengandalkan kemampuan diri, sebelum meminta bantuan orang lain. “Selama kita bisa, jangan merepotkan orang lain.” (hlm. 51)
3. Tidak menjadi manusia yang serakah. Ambil yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. “Jadi jelema ulah sarakah. Nu sarakah moal berkah.” (hlm. 59)
4. Tak kenal lelah menuntut ilmu. Karena ilmu lah yang akan menyelamatkan diri kita di dunia maupun di akhirat. “Hirup kudu nungtut elmu, keur kasalametan dunia akherat.” (hlm. 66)
5. Bertindak hati-hati dalam segala hal, termasuk saat mengambil keputusan. Juga harus pandai melihat peluang di masa depan. “Sudah emak bilang. Kalau jalan hati-hati. Pakai mata atuh. Mata teh dipakai untuk melihat. Bukan hanya melihat ke belakang, ke samping, tapi juga ke depan.” (hlm. 23)
6. Selalu ingat akhirat. Bahwa tak selamanya kita hidup di dunia. Maka jalanilah hidup ini dengan penuh manfaat dan kebaikan untuk sesama. “Mulih ka jati, mulang ka asal.” (hlm. 48)
7. Hidup sederhana, jangan berlebih-lebihan. Pakai barang sesuai kebutuhan dan manfaatkan barang yang ada. Misalnya Mak Encum dengan sandal tuanya (hlm. 50), Mak Encum yang menggunakan payung dari daun pisang (hlm. 39), juga kancing lepas yang bisa diganti dengan peniti (hlm. 41).
8. Selalu berdoa, dan melangitkan harapan (hlm. 24).

 

Gudang Tuntunan
Selain Mak Encum, secara esensial, Yorick lah tokoh yang paling banyak memegang kendali dalam mempengaruhi suasana hati pembaca. Termasuk memberi banyak tuntunan dan contoh positif yang bisa diteladani, diantaranya:

1. Tekun dan selalu memberikan yang terbaik. Apapun yang ia kerjakan, ia tuntaskan dengan sepenuh hati. (hlm. 179 – Toko Servis komputer)
2. Mempelajari hal baru dengan keseriusan. Mendalaminya hingga bidang tersebut ia kuasai. (hlm. 161 – Mulai Berteman Ilmu)
3. Jika gagal, tak jera untuk mencoba, lagi lagi dan lagi hingga berhasil. (hlm. 283 – Awal Kebangkitan Kembali)
4. Tenang dalam menghadapi sakit. Yakin saja pasti akan sembuh. (hlm. 213 – Persahabatan yang Teruji)
5. Setia kawan, selalu ingin memberi manfaat untuk orang-orang sekitarnya. (hlm. 257 – Membangun Kerajaan Kecil)
6. Rendah hati, tak pernah merasa memiliki apa yang menjadi miliknya. (hlm. 307 – Guru Besar dengan 1000 Pelajaran)
7. Mencintai alam dan menyayangi binatang. (hlm. 251 – Marley Gogo)
8. Yakin bisa, dengan berpikir bisa! Sifat Yorick yang satu inilah yang paling banyak mempengaruhi saya.

“Kamu yakin Rick bisa buat?”
“Yakinlah!” Yorick menjawab dengan tegas, begitu percaya diri.
“Ini ada 10 permintaan, memangnya kamu benar-benar yakin bisa mengerjakan semuanya?”
Yorick berhenti, lalu melirik Aziz yang cemas masih meragukan kemampuannya. Sementara uang muka sudah Yorick terima.
“Sebenarnya dari sepuluh permintaan tadi, saya hanya bisa tiga!” (hlm. 233 – Hidup dari Dunia Maya)

Bukan hanya aziz yang matanya terbelalak, saya juga! Tapi ternyata Yorick memang bisa menyelesaikan 10 permintaan klien tepat waktu ko. Hebat kan! 

 

Yorick bisa dibaca secara virtual lewat telepon genggam.

 

Akan Segera Tayang di Bioskop

Poin tambahan untuk novel-novel yang difilmkan adalah karena mampu menjawab dan menuntaskan rasa penasaran atas imaji-imaji yang berkeliaran di otak pembaca.

Kabar baiknya, Yorick akan ditayangkan di bioskop tahun ini. Saya sih sudah tidak sabar menyaksikan laga para aktor kawakan bermain peran di film ini. Ada Megantara, Ratna Riantiarno, Andryian Bima, Nina Kozok, Epi Kusnandar, dan masih banyak lagi. 

 

 

Kesan Tentang Novel Yorick

Saya ingat, saat itu sedang scrolling instagram dan menemukan postingan Kirana Kejora dengan gambar bertuliskan “ Kenapa Yorick Gagal Meminang Gadis Pontianak? cari tahu jawabannya di Novel Yorick dan dapatkan di Gramedia Megamall Pontianak.

Awalnya bingung, siapa Yorick? Akhirnya membaca captionnya dan mulai penasaran dengan sinopsis nya. Ada kisah tentang nenek di situ, yang entah mengapa selalu menarik perhatian saya.

Berangkat dari rasa penasaran itu, secepat kilat tangan saya menyambar telepon genggam dan melakukan transaksi pembayaran. Iya, baru kali ini saya membeli buku lewat aplikasi yang namanya sama dengan judul bukunya, novel Yorick dari aplikasi Yorick ID yang bisa didownload di play store dan app store. Selain mendapat buku fisik, saya pun mendapat buku virtual atau e-book, yang mana sangat memudahkan saya untuk membaca di kamar gelap saat anak-anak sudah terlelap. Tapi untuk yang ingin mencium bau buku baru, dengan mudah novel ini pun bisa didapatkan di Gramedia atau di marketplace.

Kirana Kejora, yang tulisannya selalu membelai hati, menurut saya telah berhasil menyuguhkan biografi yang apik dalam novel ini. Biografi gaya baru, penuh haru, tapi tanpa kaku. Saya dibuat seperti membaca kisah saya sendiri yang juga dibesarkan nenek. Juga sekilas perjuangan suami yang juga seorang programmer.

Aktif sejak lama di dunia penulisan skenario film, artikel, cerpen, puisi, dan workshop kepenulisan, membuat Kirana Kejora lihai menerjemahkan setiap jengkal kisah nyata yang dialami sesosok manusia bernama Yorick. Mengaduk-aduk emosi dari sedih kemudian marah, kemudian penasaran dan berujung pada penantian Film Yorick yang akan segera tayang. Karakter Yorick berhasil digambarkan sebagai sosok teladan yang bukan lagi menghalau badai, namun juga merangkulnya. Manusia penuh keyakinan dan semangat.

Setelah membaca Yorick, banyak hal yang berubah dari diri saya. Belajar menjadi pribadi yang lebih sederhana, banyak bersyukur dan berani mencoba hal-hal baru, tanpa mudah menyerah. Ketika mau menyerah, saya ingat Yorick.

Terjadi ketika mereview buku ini. Didera sakit dan terbatasnya waktu, membuat saya hampir menyerah menuntaskan draft tulisan. Namun sekali lagi saya teringat Yorick, saya pun malu, dan memulai kembali menulis.

 

Yorick Memang Nyata

Kirana Kejora pun berhasil membuat saya mencari tahu siapa dan seperti apa sosok Yorick di kehidupan nyata. Setelah berhari-hari penasaran, dengan mudah saya menemukan jejak digital Yorick di dunia maya. Nama aslinya berinisial DYM, yang ternyata “Yorick” adalah nama tengahnya. Menelusuri namanya di berbagai sosial media, dan menemukan bahwa ia mutual friend kakak kelas saya, membuat saya sebahagia Aladin saat menemukan lampu tua berisi jin. Bahagianya lagi, kakak kelas saya ternyata pernah duduk bersebelahan di bangku pesawat saat Yorick terbang ke Rusia untuk pertama kalinya. Yorick memang nyata adanya, bahkan pernah offroad dengan mobil hummer nya di Wangunreja, Subang, kampung tempat nenek saya tinggal.

Nyatanya, Yorick memang manusia yang humble, pekerja keras dan cerdas. Selain iseng, kocak juga sih sepertinya. Masa di Rusia gak pake jaket. Ah, pokonya Novel ini terasa semakin hidup semenjak tahu sosok Yorick versi nyata. Satu pertanyaan saya, kenapa namamu begitu bule A? Kenapa namamu bukan Tatang, Asep, Ujang, atau Suparna?

 

Sumber: Instagram Yorick.id

 

 

Kritik dan Saran

Secara keseluruhan, novel ini sangat mengagumkan, namun bukan berarti luput dari kekurangan. Berikut beberapa kekurangan dari sudut pandang saya sebagai pembaca.

 

Salah Penulisan
Mengacu pada KBBI, dalam penulisan Novel Yorick, terdapat kesalahan minor pada penulisan beberapa kata, atau keliru dalam kaidah penulisannya, seperti:

1. Tertulis “menakhlukan”, seharusnya menaklukan. (hlm. 2)
2. Tertulis “diaplikasi”, seharusnya di aplikasi. (hlm. 7)
3. Tertulis “tangannya kanannya”, seharusnya tangan kanannya. (hlm. 17)
4. Tertulis “setidakya”, seharusnya setidaknya. (hlm. 29)
5. Tertulis “tersengal-senga”, seharusnya tersengal-sengal. (hlm. 117)
6. Tertulis “mesjid”, seharusnya masjid. (hlm. 152, 153, 154)
7. Tertulis “kami”, seharusnya kamu. (hlm. 162)
8. Tertulis “penakhluk”, seharusnya penakluk. (hlm. 196)
9. Tertulis “membahagiakn”, seharusnya membahagiakan. (hlm. 205)
10. Tertulis “menggganti”, seharusnya mengganti. (hlm. 267)
11. Tertulis “aktifitas”, seharusnya aktivitas. (hlm. 269)

Semoga di cetakan selanjutnya, kesalahan-kesalahan dalam penulisan tersebut bisa diperbaiki.

 

Adanya Cerita yang Hilang dan Terkesan Lompat
Pada halaman 239 diceritakan bahwa Mak Encum meninggal dan dimakamkan di Bandung. Namun di halaman 304, tiba-tiba Yorick melakukan ziarah ke makam neneknya di Cibungur. Saya sudah membaca novel ini dua kali, memastikan tak ada adegan yang terlewat. Tapi sepertinya memang cerita “bagaimana makam Mak Encum berpindah dari Bandung ke Panjalu” tidak diceritakan. Koreksi jika saya salah.

Cerita mengenai sepatu pun menjadi pertanyaan besar bagi saya. Pada bab Balada Sepasang Sepatu halaman 31, sepatu kiri Yorick dilempar Trio Y (Yayan, Yana, Yanu) ke atap sekolah dan sepatu kanannya hanyut terbawa sungai. Tapi di bab selanjutnya, yakni di bab Mengaji untuk Mengkaji, sepatu Yorick yang kebesaran kembali ada. Kembalinya sepatu Yorick dikuatkan dalam kalimat “karena sepatu kebesaran, tampak kertas koran sebagai pengganjalnya keluar, ia segera remas-remas, lalu memasukan koran ke sepatu lagi.” Padahal sebelumnya tak ada dialog Yorick mendapat sepatu pengganti. Malah, sepatu pengganti untuk Yorick baru diceritakan di bab Mulai Berjalan Sendiri, halaman 65. Saya kan jadi bingung, hehe.

 

Terdapat Cerita yang Samar
Selama Yorick terpisah dengan Mak Encum, tak ada satu kalimat pun yang menjelaskan di mana sebenarnya Mak Encum dirawat, dan dengan siapa Mak Encum tinggal hingga Yorick tak bisa bertemu dengan neneknya tersebut.

Tidak pula dijelaskan kapan dan dimana terakhir kali Yorick bertemu Mak Encum saat beliau masih hidup. Seperti apa suasana terpisahnya seorang cucu dengan satu-satunya harta berharga yang ia miliki, neneknya. Sayang sekali, dialog perpisahan itu tidak diceritakan dalam novel ini.

Dalam novel diceritakan bahwa Yorick mendatangi rumah Pak Harna maupun Pak Jaya atas rekomendasi Mak Encum. Pertanyaannya, kapan Mak Encum menyelipkan nama-nama dan alamat yang bisa Yorick datangi tersebut? Apakah alamatnya ditulis pada secarik kertas? Atau bagaimana? Mengingat Mak Encum adalah seorang yang buta huruf. Sungguh misterius.

Tapi saya menerima koreksi jika cerita-cerita tersebut sesungguhnya ada. Mungkin saya yang terlewat membacanya.

 

Beberapa Cerita yang Kurang Diolah
Mungkin ini sepele, tapi saya penasaran bagaimana cara Ayah kandung Yorick mengiriminya uang. Apakah dikirim langsung? Dalam artian bertemu. Atau ditransfer? Karena hal ini sesungguhnya bisa menjadi cerita yang menarik tentang bagaimana hubungan Yorick dengan ayah yang sudah berpisah belasan tahun dengannya.

Kisah Yorick bersekolah di SMP dan SMA pun hanya diceritakan sepintas lalu saja. Padahal akan sangat menarik jika cerita tentang bagaimana Yorick mengatur waktu antara bersekolah dan bekerja, dikembangkan. 

Nah, ini yang paling mengganjal. Mengapa pertemuan antara Yorick dan orang tua kandungnya hanya mendapat tempat beberapa halaman saja di buku ini?
Padahal saya sungguh berharap bisa menemukan jawaban mengapa nama Yorick begitu kebule-bulean, siapa sesungguhnya orang tuanya, kenapa keluarga besar begitu membenci Yorick hingga hanya nenek saja yang mau mengasuhnya.
Ah, sungguh saya sedikit kecewa karena tidak mendapatkan jawabannya. Sampai halaman terakhir pun tidak terlihat upaya Yorick untuk memecahkan misteri besar tersebut. Tapi tentu saya masih menyimpan harapan, semoga jawabannya ada di film Yorick yang akan segera tayang.

 

Pemberian Tanggal dan Lokasi
Karena diangkat dari kisah nyata, ada baiknya penulis membubuhkan tanggal dan lokasi sebagai pembuka pada beberapa bab. Tujuannya agar pembaca lebih mudah masuk ke dalam ruang dan dimensi cerita.

 

Aplikasi Yorick ID
User interface nya sangat menarik dan mudah dipahami. Fitur-fitur pada aplikasinya pun visioner, dipersiapkan untuk era digital yang saat ini semakin berkembang. Walaupun bertujuan untuk menyuguhkan novel digital, tetapi di dalamnya mencakup fitur lain seperti e-commerce.
Sekedar saran, mungkin perlu ditambahkan modul untuk sesama pembaca yorick membahas isi novel ini, bukan kolom komentar, namun seperti sebuah forum terbuka yang membebaskan pembaca untuk berdiskusi dan saling menyapa.

Ada beberapa bug yang muncul saat saya gunakan, tetapi respon pengembang sangat cepat untuk melakukan perbaikan.
Masukannya, semoga sebelum aplikasi di release, testing nya sudah memberikan hasil tanpa bug, sehingga pengguna seperti saya tidak kebingungan saat aplikasi tidak dapat digunakan. Saya percaya Yorick dan tim bisa melakukan banyak perbaikan dan terobosan baru. Semangat!

—————–

 

 

Pada akhirnya, saya benar-benar menikmati untaian kisah yang dipintal oleh Kirana Kejora. Terimakasih sudah menyuguhkan kisah yang inspiratif dan cerita yang memperkaya pengalaman. Terimakasih sudah banyak merubah kebiasaan buruk saya. Juga terimakasih sudah mengingatkan saya untuk semakin menyayangi keluarga, terutama nenek. Salam untuk Yorick dari Mak Uju, nenek saya di kampung. Beliau terkesan ketika saya menceritakan kisah Anda. 

Pesan nenek saya, “Hirup kudu nulung kanu butuh. Nalang kanu susah. Nganteur kanu sieun. Nyaangan nu kapoekan. (Hidup harus bisa menolong orang yang membutuhkan, membantu orang yang sedang susah, mengantar orang yang sedang ketakutan, dan menerangi orang yang sedang kegelapan)

Semoga cita-cita Yorick membangun panti jompo bisa terwujud. Amiin

 

 

Sumber:

Novel Yorick

Sumarsono, Tatang. 2003. Berkerja demi Bangsa: R.S. Hardjapamekas

http://kbbi.web.id/