Tahun 2018, saat hamil Nunu, tak sengaja menemukan berita bahwa dr. Reisa Brotoasmoro mengkhitan anak keduanya yang baru berusia 3 bulan.

 

 

Berdasar pada kebiasaan dan budaya sekitar yang mengkhitan anak laki-laki di usia minimal 3 tahun, tentu saja saya kaget. Saya malah tidak tahu kalau khitan atau sunat laki-laki itu bisa dilakukan saat bayi. Karena penasaran, akhirnya saya mencari-cari literatur, riset kecil-kecilan, mencari tahu lebih dalam tentang sunat dari segi medis dan agama. Ternyata di Arab dan kawasan timur tengah, khitan bayi di usia 3 hari sudah menjadi hal yang biasa. Di berbagai klinik khitan di Indonesia pun sudah lazim orang tua yang mengkhitan atau menyunat bayinya. Ditambah saya pun bertemu hadist  di bawah:

 

Alhamdulillah saya pun tercerahkan. Maka saat usia 9 bulan kehamilan, saya sedikit menyinggung soal sunat bayi pada dokter kandungan saya. Sepaham dengan apa yang dijelaskan dr. Reisa, dokter kandungan saya pun mendukung penuh jika nantinya saya sunat anak laki-laki saya saat masih bayi (itu pun kalau lahirnya laki-laki).

Maka saat Nunu lahir, niat untuk sunat bayi semakin bulat. Saat usia Nunu tiga bulan, saya meminta izin suami untuk sunat Nunu. Kebetulan ada promo di rumah sakit dekat rumah. Tapi sayang, tidak diizinkan, dengan alasan “kasian”. Pun begitu dengan keluarga besar saya di Subang maupun di Aceh. Mereka semua menolak Nunu untuk disunat saat bayi, nanti saja kalau sudah SMP katanya.

Baiklah…saya menurut.

30 April 2019
Nunu tiba-tiba panas tinggi 39.6 derajat celcius. Padahal anaknya aktif dan tidak rewel sama sekali. Trauma dengan demam anak, kami langsung membawa Nunu ke RS Hermina Bogor, cek darah, cek urin. Fix, ternyata Nunu Infeksi Saluran Kemih.

Saat itu dokter sudah cek penis Nunu, tapi tidak menyebutkan adanya indikasi medis apapun, hanya bilang “ini kalau bersihkan penis si Adek, harus ditarik begini bu” Kata dokternya sambil menarik penis Nunu. Mengernyit kening saya, mana tega saya menarik penisnya sampai sebegitunya.
Sudah begitu saja, tak disebutkan sama sekali bahwa ada masalah dengan penis Nunu. Dokter hanya menjelaskan bahwa leukositnya tinggi dan ada mikroorganisme pada urinnya. Solusi dokter hanya memberi paracetamol penurun panas dan antibiotik untuk menyembuhkan ISK nya. Namun diakhir pertemuan, dokternya sempat berbisik “kalau seminggu belum membaik, terpaksa harus sunat”. Saya lumayan kaget, tapi tidak bertanya kenapa harus disunat. Kami pun pulang

8 Mei 2019
Seminggu berlalu, kami kembali cek urin Nunu. Kali ini kami cek di Subang, karena saya sakit dan kewalahan mengurus Nunu, juga Una yang lincahnya Masya Allah. Jadi kami pulang kampung, pulang ke rumah orang tua.
Hasil cek urin Nunu bagus, tak ada lagi mikroorganisme, warnanya pun bening. Seharusnya saya merasa puas, karena artinya ISK nya sudah sembuh. Tapi hati tak bisa dibohongi, entah kenapa saya ingin sekali memeriksakan Nunu lagi.

9 Mei 2019
Keesokannya saya ke RS. PTPN untuk bertemu dokter Deby, membawa hasil urin Nunu. Dengan seksama, dokter baik hati ini mendengarkan penjelasan saya.
“Ini urinnya bagus, normal.”
Tak lama ia pun memeriksa penis Nunu. Tak sampai 5 detik, beliau berbisik “fimosis”. “Bu, ini kalau tidak segera disunat, cepat atau lambat dedenya akan infeksi lagi. Kulupnya menempel, akan banyak kotoran menumpuk di ujung penisnya.”
Hening
“Ibu ga takut kan?” Curiga pada ekspresi wajah saya yang setengah melamun.
“Ga takut Dok, malah saya sudah merencanakan sunat saat dede usia 3 bulan. Sedih aja sekarang malah harus sunat karena dia sakit.”
“Ga apa-apa, anak saya juga disunat umur 7 hari ko.”

Pulang, dengan kepala penuh rasa tidak percaya “beneran ini mau disunat? Liat muka dede yang polos…ko jadi ga tega ya…padahal dulu sudah yakin.”

Di rumah, menelpon suami, menceritakan semua kronologis dan anjuran dokter. Terdengar suara yang lemah dan tak berdaya dari suami. “Ya udah, mau gimana lagi, sunat aja.”

Dengan keadaan seperti itu, suami dan keluarga besar pun mengizinkan Nunu untuk disunat walaupun ada sedikit air mata. Di sini saya sih yang paling tegar.

Tanggal 10 daftar sunat, tanggal 12 cek darah, kemudian dijadwalkan sunat pada tanggal 13 di klinik An Naml Medika Subang.

13 Mei 2019


Jam 5 subuh, Saya, Suami, Mama, Una dan Mang Jeje membawa Nunu ke Klinik An-Naml di bawah penanganan dr. Iwan. Setelah berkonsultasi dan memeriksa hasil cek darah Nunu berupa blooding time dan clooding time, dr Iwan pun membawa Nunu ke ruang tindakan.

Hanya satu orang yang diperbolehkan masuk dari pihak keluarga. Suami terlihat menyerah, ga tega katanya. Saya? Tiba-tiba mules dan kebelet pipis berkali-kali. Akhirnya sang jagoan berdiri “Udah mama aja!” Malu kami, kalah berani sama Mama. Hidup Enin!!!

06.20 WIB
Sambil menunggu di depan ruang tindakan, saya berdoa. Tak ada suara apapun di ruang tindakan. Selang semenit pecahlah tangis Nunu…tangis yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Tak lama, kemudian hening lagi…9 menit berlalu, tiba-tiba terbukalah pintu ruang tindakan, dan keluar sesosok bayi yang tersenyum-senyum digendong neneknya.

06.29 WIB
Jujur saya kaget. Lah ko nangisnya sebentar??? Ternyata tadi Nunu menangis hanya saat disuntik bius, secara ya 4 suntikan. Jadi saat dilaser, Nunu sama sekali tidak berontak dan menangis. Pasrah, Alhamdulillah.
Nunu langsung dibawa pulang, sementara saya dan suami dipanggil ke ruang dokter untuk mendapatkan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi di ruang tindakan. Penjelasannya sangat teknis, tentang bagian mana yang dipotong, juga mana yang dijahit. dr. Iwan pun menjelaskan bahwa:
1. Luka sunat tidak boleh terkena air
2. Lukanya akan rembes, jika ingin melap bagian lukanya-hanya boleh menggunakan kasa steril. No tisu, tisu basah, lap dll.
3. Biarkan terbuka, namun jika keluar rumah harus memakai celana sunat.

Dari jam 06.20 sampai 09.00 anaknya masih ketawa-ketawa, seperti tidak terjadi apa-apa.

Jam 09.00, dimulailah tangisan membahana ala rocker konser. Saya mencoba tegar sambil menggendongnya. Menggendong dengan posisi tangan memisahkan kedua kaki Nunu agar tidak beradu dengan penisnya. Sungguh ini adalah masa-masa ketangguhan seorang ibu sangat diuji. Semua orang bergantian mendekat, mencoba menghibur Nunu. Tak ada satupun yang berhasil. Nunu tetap menangis. Disusui pun tak mau. Tak apa, saya tegar, saya tetap menggendong sambil tersenyum mentapnya dan membaca surat-surat pendek.

Alhamdulillah momen yang meruntuhkan hati ini hanya terjadi 15 menit saja. Tapi berasa lama sih.
Setelahnya Nunu tertidur di pangkuan saya yang terduduk sambil terus melafalkan surat-surat pendek. 2 jam ia tertidur, lumayan membuat lengan saya semakin berotot.

Saat bangun di jam 12 siang, ia menangis lagi, pipis pertamanya keluar. Sedikit menjerit, tapi dilanjut dengan nangis yang biasa saja, tak seheboh sebelumnya. Kemudian tertidur lagi selama 2 jam. Pengajian ibu-ibu sungguh membantu menina bobokan Nunu. Ia terbangun saat banyak ibu-ibu menontonnya. Tapi Nunu terlihat membaik, mulai tersenyum, hanya sedikit lelah saja.

Dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore, Nunu berada dalam gendongan. Kami masih belum tega melepasnya tidur di kasur, takut telungkup atau mungkin terkena kaki/tangannya. Kami bergantian menggendong Nunu karena pipis Nunu mulai mancur-mancur ke segala arah. Seringnya sih kena baju. Maka mau tak mau kami harus ganti baju.

Sampai pukul 17.00 saya mencoba memberdirikan Nunu. Allahu Akbar, ternyata dia keasyikan berdiri, malah gamau lagi digendong. Semakin malam mukanya semakin biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Ia pun mulai loncat-loncat ketika diberdirikan.

19.30 ia mulai mengantuk dan tertidur di kasur dengan posisi menyusu. Ini proses menyusui paling tegang dalam hidup saya. Saya takut menyentuh luka sunatnya. Tapi saya doang ni yang tegang, anak yang disunatnya mah santai aja kaya biasa. Nunu pun tertidur, pulas mengorok sampai jam 5 pagi. Iya, dia pulas, saya mah begadang gantian sama suami memastikan dia ga tengkurep, juga mengecek dan membersihkan sisa pipis pada penisnya.

Alhamdulillah hari pertama terlewati. Hari kedua Alhamdulillah anaknya semakin ceria, semakin terlihat seperti sebelum ia disunat. Semua normal. Poop normal, tidur normal, lincah seperti biasa, menyusui juga normal. Di hari ke 5, saat kontrol ke dokter, alhamdulillah luka sunat pun sangat bagus. Hari ke 10 setelah berendam di air PeKa (Permanganas Kalcius), luka sunat pun pulih seutuhnya. Alhamdulillah

 

Berikut tips yang harus dilakukan sebelum sunat:
1. Konsultasikan dengan dokter
2. Pilih klinik atau rumah sakit yang dekat dengan rumah. Kasian kan bawa pasien sunatnya kalau jauh.
3. Percayakan pada dokter yang kredibel, profesional dan berpengalaman. Bisa dengan dokter bedah, dokter urologi, atau dengan dokter anak.
4. Ikuti prosedur yang dianjurkan dokter. Diantaranya: memastikan anak dalam keadaan sehat dan melakukan cek darah terlebih dahulu.
5. Minimal sudah janjian dengan satu partner untuk bergantian merawat pasien sunat. Karena si bayi tak boleh lepas pengawasan, sementara harus ada orang lain yang membuat makanan bayi, menggantikan saat kita makan, mandi, solat dll.
6. Pastikan orang tua dan tim pendukung dalam keadaan sehat, fit dan tak banyak pikiran (fokus).
7. Membeli celana sunat tambahan di apotek. Biasanya dikasih sama dokter, tapi saya pribadi membutuhkannya sekitar 3.!Untuk apa? Berikut penjelasannya.

 

Trick Membuat Celana Sunat Anti Bocor
Karena bayi belum bisa bilang kapan ia mau pipis, dan kita pun sebagai orang tua tidak bisa memprediksi kapan ia akan pipis, maka cara ini boleh ditiru untuk menjaga burung pipit dari sentuhan tangan dan kakinya yang ga bisa diem, juga meminimalisir air pipis yang mancur dimanapun ia mau. Terimakasih kepada sepupu vivin yang telah menginspirasi.

 

Karena dokter menyarankan lebih sering membuka luka sunat, maka saya menggunakan popok batok ini hanya beberapa kali saja. Biasanya 2 jam saat tidur malam, 2 jam tidur siang, dan 2 jam ketika nongkrong di luar rumah. Sisanya saya biarkan burung pipitnya terbuka bebas. Oya, harus rajin dicek ya, karena batoknya harus selalu kering dan bersih.

 

Tips perawatan pasca sunat bayi (sesuai arahan dr. Iwan)
1. Dibiarkan terbuka
2. Jangan terkena air (dokter menyarankan selama 15 hari tidak mandi), tapi saya gemes, akhirnya Nunu saya mandikan di hari ke 10, berendam di air PeKa.
3. Dilap kasa steril bagian luka yang terkena pipis.
4. Bagian sekitar luka akan mengalami pengeringan akibat darah putih. Kita harus rajin membersihkannya, jangan sampai berkerak.
5. Hindarkan burung pipitnya dari debu dan polusi.
6. Minum antibiotik dan obat lain yang diresepkan dokter.
7. Jika anak sudah MPASI, berikan ia olahan ikan gabus untuk mempercepat pemulihan.
8. Jaga agar tangan dan kakinya tidak menyentuh luka sunat.

Yang terjadi pada Nunu pasca sunat
1. Pola tidur siang maupun malam normal, lelap.
2. Pee dan poop lancar
3. Tidak ada demam
4. Tidak mengurangi keaktifan dan keceriaan. Tetap lompat-lompat, tetap powerfull seperti biasa.
5. Yang biasanya guling-guling menguasai luas kasur, saat masa pemulihan-posisinya terlentang dari tidur sampai bangun.
6. Manja hanya dihari pertama
7. Tidak menolak setiap luka sunatnya dibersihkan. Diem aja gitu menikmati.
8. Baru memakai betadine saat hari ke 6. Sebelum itu pure lukanya pure tanpa olesan obat-obatan apapun. (Mengikuti saran dokter.

 

——————-

 

Pada intinya, sunat bayi tidak menakutkan ko.  Justru karena sudah ada pijakannya secara medis maupun agama, saya tidak mau menundanya lagi. Toh nanti pun akan disunat juga.

Malah kalau boleh saran. Lebih baik bayi disunat saat berusia 7 hari, saat kondisinya belum banyak bergerak. Karena jujur saja, usia Nunu 7 bulan, sudah super duper aktif sekali, menjaga tangannya agar tidak mencengkram luka sunat, maupun menjaganya agar tidak temgkurep adalah hal yang paling menguras tenaga. Alhamdulillah semua berlalu dengan cepat. Alhamdulillah.

Atas: Nunu, 8 jam pasca sunat Bawah: Nunu, 1 jam pasca sunat