Menyulam Toleransi
di SMK Bakti Karya Parigi

Foto Emanuel Hendrikus Liwu
September, 4 tahun yang lalu.
Bip Bip
Suara ponsel berbunyi. Layarnya menunjukan seseorang mengirim pesan via Whatsapp.
“Halo Kak Indah, Aku Eman. Ini cerita yang Kakak minta. Jangan ketawa, ya! Hahaha,” begitu isi pesan awalnya. Belum sempat dibalas, tak lama ia pun mengirimkan kelanjutan pesannya.
Halo, aku Emanuel Hendrikus Liwu. Teman-teman memanggilku Eman. Aku asli keturunan darah Flores tapi lahir di Malaysia, 17 tahun yang lalu. Kini aku duduk di kelas XIB di SMK Bakti Karya Parigi. Merantau dari Flores ke Pangandaran untuk belajar dan mengalami langsung indahnya toleransi.
Aku ingat betul kesan pertama kali ketika aku mengecap makanan berat yang rasanya manis di sini, mendengar bahasa yang sama sekali tidak ku mengerti, melihat teman-teman beribadah sesuai kepercayaannya, menjumpai cara dan nada bicara teman yang berbeda denganku. Itu semua sangat berbeda dengan kebiasaanku dulu di Flores. Namun aku senang. Aku bisa mengenal indahnya perbedaan. Hidupku lebih berwarna. Kini aku lebih yakin memang Indonesia adalah bangsa yang sangat hebat. Bangsa yang mampu mempersatukan begitu banyak perbedaan dalam satu wadah. Yaitu Indonesia itu sendiri.
Kejadian unik dan lucu yang aku temui saat baru saja pindah ke sini adalah ketika teman asrama yang berasal dari Papua, malam hari tidur mengorok dengan sangat kencang sehingga membangunkan teman-teman yang lain. Sangat lucu dan tak terlupakan. Hal ini yang nanti akan kami rindukan setelah lulus nanti.
Tanpa sadar, ternyata saya senyum-senyum sendiri membaca pesan Eman. Entah kenapa hati saya selalu hangat setiap kali membaca kisah anak-anak SBK (sebutan saya untuk SMK Bakti Karya Parigi). Seperti merasakan langsung damainya kehidupan di sana. Padahal kami terpisah jarak 357 km jauhnya.
Tanpa berlama-lama, saya langsung menyunting tulisan Eman, kemudian mengunggahnya ke akun Instagram SMK Bakti Karya Parigi.
Menyunting, mengunggah konten dan membuat infografis adalah bagian dari tugas saya saat menjadi relawan di SMK Bakti Karya Parigi 4 tahun yang lalu. Menggali cerita dan kegiatan sehari-hari anak-anak Kelas Multikultural adalah pengalaman paling berharga dalam hidup saya.
Berkenan membaca ceritanya? Geser ke bawah, ya! ^^
Penyulam Toleransi itu
Bernama Ai Nurhidayat
Perihal siapa penyulam toleransi itu, bagaimana SMK Bakti Karya Parigi bisa bangkit kembali, juga tentang Kelas Multikultural, semua bermula dari seorang pemuda asal Dusun Cikubang Parigi, Pangandaran yang bernama Ai Nurhidayat.
Saya pribadi mengenal Ai Nurhidayat pada tahun 2010. Beliau adalah kakak kelas saya saat berkuliah di Jakarta. Sama-sama berkuliah di jurusan komunikasi, juga bernaung dalam organisasi kampus yang sama, membuat kami sering kali terlibat diskusi, terutama diskusi tentang misi-misi sosialnya. Maka ketika tahu bahwa setelah lulus kuliah ia pulang untuk mengabdikan diri di kampung halamannya, saya sama sekali tidak terkejut. Alih-alih berkarir di Jakarta seperti orang kebanyakan, Ai memilih pulang kampung untuk menggerakkan anak-anak muda di sana untuk bersinergi membangun pendidikan multikultural.

Ai Nurhidayat sejak kuliah sudah aktif mengkampanyekan kebaikan.

Ai Nurhidayat Bersama Siswa SMK Bakti Karya Parigi
Di Pangandaran, Ai dan kawan-kawannya mendirikan komunitas belajar bernama Sabalad. Memiliki moto komunitas “mencari ilmu selama-lamanya, mencari kawan sebanyak-banyaknya” Komunitas Sabalad aktif bergerak di bidang literasi, pendidikan, budaya, seni dan media. Selain mendirikan perpustakaan, Komunitas Sabalad pun melakukan kegiatan beternak, berkebun, hingga memproduksi pupuk kandang, madu murni, dan merintis wisata edukasi Kampung Nusantara yang semuanya melibatkan anak-anak muda sekitar.
Namun di tengah perjalanan aktivitasnya menghidupkan Komunitas Sabalad, Ai dipertemukan dengan guru yang sekolahnya nyaris gulung tikar dikarenakan sedikitnya siswa yang mendaftar. Sekolah itu bernama SMK Bakti Karya Parigi yang telah berdiri sejak tahun 2012. Melihat hal tersebut, Ai dan Komunitas Sabalad sepakat menyelamatkan sekolah tersebut agar bisa beroperasi kembali. Pada tahun 2014, dengan mengaplikasikan misi perdamaian dan toleransi yang diembannya, SMK Bakti Karya Parigi pun dihidupkan kembali. Pintu sekolah dibuka selebar-lebarnya untuk siapa saja yang memiliki keterbatasan dana sekolah. Siswa yang bersekolah boleh berasal dari daerah mana pun, budaya apa pun, ras, dan agama apa pun.
SMK Bakti Karya Parigi tidak berdiri begitu saja. Ada kerja keras Ai, guru-guru SBK, relawan, dan teman-teman Komunitas Sabalad yang berjuang menyeka peluh menghadapi setiap tantangan. Mulai dari pencarian donasi, pengrekrutan relawan, hingga proses penerimaan murid baru…dilakukan secara gotong royong. “Ini namanya gerakan publik,” kata Ai.
Tim mengajak para donatur untuk patungan mendanai siswa, mulai dari akomodasi keberangkatan, biaya hidup di asrama, makan, hingga seluruh kebutuhan sekolah. Semuanya gratis! Berbagai platform dimanfaatkan, termasuk situs penggalangan dana online, juga ajakan donasi dari mulut ke mulut. Semua dikerahkan.
Perjuangan menghidupkan pendidikan dengan wujud keberagaman budaya tidak lah sampai di situ saja. Ai bahkan sempat dicurigai warga dan kepala daerah setempat sebagai orang yang membawa misi kristenisasi karena mendatangkan anak-anak yang beragama Kristen. “Oh, Sekolah Kristenisasi mah sebelah situ!” kata seorang warga saat menunjukan alamat SMK Bakti Karya Parigi. Namun hal itu tentu saja bisa diatasi dengan duduk bersama. Tujuan menyelenggarakan pendidikan gratis sembari menyulam toleransi berhasil meyakinkan tetua-tetua di sana.
Syukurnya lagi, Ai didukung penuh oleh keluarga dan orang-orang sekitarnya. Ada “Ibu Militer” yang selalu siap memasak makanan pagi-siang-sore untuk para siswa di asrama. Ada Pak Dayat yang ikut menyumbangkan tanahnya untuk digunakan para siswa bercocok tanam dan beternak, ada 500 lebih donatur, juga ada orang-orang baik yang mau ikut menyumbangkan ilmunya di kelas profesi. Hingga pada tahun 2014, SMK Bakti Karya Parigi pun akhirnya sah berada di bawah naungan Yayasan Darma Bakti Karya Pangandaran yang diketuai oleh Ai sendiri.
Meneropong Indonesia
di Kelas Multikultural
“Toleransi itu jangan cuma sebatas seminar, toleransi itu harus dialami,” lagi-lagi terngiang orasi Ai Nurhidayat.
Dari sekitar 20 wilayah di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua, para calon siswa SMK Bakti Karya Parigi yang lolos seleksi-diterbangkan langsung ke Pangandaran untuk mulai belajar di Kelas Multikultural. Kelas Multikultural inilah yang menjadi wadah para siswa untuk terkoneksi satu sama lain, mengenalkan budaya masing-masing, sehingga tercipta suasana pembelajaran yang dinamis dan tentunya mempraktikan langsung sikap toleran di tengah perbedaan.

Selain berbeda suasana karena dalam satu kelas terdapat beragam bahasa, budaya, ras dan agama…yang membuat Kelas Muktikultural berbeda dari kelas formal pada umumnya adalah ‘gaya belajarnya’. Di SMK Bakti Karya Parigi, Ai Nurhidayat dan tim mengusung pembelajaran berbasis teknologi dengan standar kurikulum pada umumnya, tetapi dibuat lebih asik dan menyenangkan. Selain mempelajari multimedia dan ekologi, para siswa di SMK Bakti Karya Parigi pun disuguhkan konsep-konsep multikulturalisme, seperti penyebaran nilai-nilai toleransi, perdamaian, juga semangat berbudaya.
Teknis belajarnya pun unik, karena meja dan bangku lebih sering disudutkan ke tembok, sedangkan para siswanya duduk lesehan di bawah membentuk letter U, tak ada yang paling depan dan tak ada yang paling belakang. Posisi ini lebih sering dipraktekan terutama saat kedatangan teman-teman yang mengisi Kelas Profesi. Orang-orang dari berbagai latar belakang profesi yang berbeda dengan suka rela membagikan pengalamannya masing-masing. Ada petani, juru dongeng, barista, akuntan, programmer, juga kalangan selebritas.
Mereka pun lebih banyak belajar di luar ruangan, mempraktikan langsung pelajaran ekologi di lapangan. Mereka beternak domba, menanam padi, menanam kacang tanah, menanam sayuran, kemudian memanen, dan mengolahnya sendiri untuk bahan makanan. Bahkan tak jarang mereka pun menjualnya kepada tentangga-tetangga di sekitar asrama.
Suatu hari saat Ramadhan tiba, Syamsiar, Marice Robeka Yesnath, dan Asri Nada Aulia beramai-ramai ke kebun untuk memanen terong. Terong-terong tersebut akan dimasak oleh “Ibu Militer” sebagai bahan santapan berbuka puasa. Menariknya, walau Marice tidak berpuasa, ia tetap membantu Syamsiar menyiapkan kebutuhan berbuka. Syamsiar merupakan Muslim dari Sebatik, Kalimantan Utara. Sedangkan Marice beragama Kristen Protestan dari Kwor, Papua Barat. Dari terong yang mereka panen untuk berbuka, ada pelajaran tenggang rasa yang mereka praktikkan, ada juga imun toleransi yang mereka pupuk di situ. Hebatnya lagi, siswa yang tidak berpuasa pun ikut makan di saat sahur dan berbuka. Walaupun dari pihak asrama tidak ada larangan soal makan siang di bulan Ramadhan, tetapi mereka dengan suka rela makan siang di tempat tertutup, untuk menghargai teman lainnya yang sedang berpuasa. Indahnya keberagaman.

Syamsiar, Marice Robeka Yesnath dan Asri Nada Aulia sebelum memanen terong.
Merayakan Keberagaman
Tak hanya belajar secara formal, SMK Bakti Karya Parigi pun memiliki rentetan acara menarik, yang tentunya mengusung tema besar TOLERANSI dan ragam budaya. Ada acara tahunan seperti Gelar Pamit, Ulang Tahun Komunitas Sabalad, dan Festival 28 Bahasa Nusantara yang bisa dihadiri oleh siapa saja yang ingin bergabung mengenal budaya Indonesia lebih dalam.
Berbicara tentang Festival 28 Bahasa, acara ini menjadi semakin kaya makna karena dilaksanakan bertepatan dengan momentum Hari Sumpah Pemuda, yakni 28 Oktober. Melalui festival ini, kita disuguhkan 28 bahasa sebagai aset kekayaan Negara Indonesia. Para siswa SMK Bakti Karya Parigi mengemas bahasa dalam bentuk orasi dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya masing-masing. Orasinya membahas tentang suku, adat, budaya, kebiasaan juga isu permasalahan yang sering terjadi di daerah para siswa. Tak hanya orasi, siswa pun melakukan karnaval budaya, dan bekerja sama dengan warga sekitar membangun rumah adat dari daerah masing-masing sebagai stand tempat disediakannya makanan khas daerah. Misalnya rumah adat Honai dari Papua menyediakan makanan khas Papeda sebagai hidangan yang bisa dicicipi langsung oleh pengunjung, atau rumah Krong Bade dari Aceh menyediakan mie aceh. Seru bukan?




Festival 28 bahasa di Dusun Cikubang, Pangandaran
Di SMK Bakti Karya Parigi, Saya Belajar:
Bahwa Indonesia itu Indah
Selama ini yang saya tahu dari “bisik-bisik tetangga” yang tak jelas sumbernya dari mana, katanya orang Minang itu pelit, orang Aceh itu materialistis, dan orang Timur itu keras. Lewat SMK Bakti Karya Parigi, semua “katanya” itu terpatahkan. Pengalaman langsung bertoleransi antar suku dan budaya dalam lingkup pendidikan ternyata sangatlah indah. Orang Minang ternyata gemar berbagi, orang Aceh juga tidak matrealistis, pun dengan orang Timur…mereka berhati lembut dan penyayang. Mengalami langsung keberagaman memang eksekusi cerdas dibanding hanya mendengar “katanya”.
Bahwa Setiap Kita Adalah Agen Perdamaian
Hidup dalam keberagaman selama tiga tahun tentu akan membentuk imun toleransi yang tinggi dalam jiwa anak-anak SMK Bakti Karya Parigi. Menyatu dengan mereka selama satu tahun menjadi relawan cukup membuat saya optimis bahwa sesungguhnya setiap kita adalah agen perdamaian, di mana pun kita berada.
Bahwa Budaya Indonesia Adalah Aset Bangsa
Kata Ai, tidak ada budaya yang lebih tinggi maupun budaya yang lebih rendah. Semua budaya itu berharga. Maka merawat ragamnya budaya Indonesia lewat toleransi adalah wujud nyata kita mencintai dan menjaga Indonesia.
Gotong Royong
Bahwa penyelenggaraan pendidikan yang setara, tanpa ada gap antar suku maupun daerah, adalah hal yang tak hanya bisa diamini dalam doa, tetapi juga bisa direalisasikan secara nyata. Tidak ada lagi “bisikan gaib” bahwa di Jawa lebih mudah untuk bersekolah, sedangkan di Papua sangat sulit. Di Dusun Cikubang ini semua setara dalam memenuhi hak pendidikannya. Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua…semua boleh bersekolah di sini. Gotong royong adalah “koentji” utamanya. Melibatkan banyak peran dari segala lapisan masyarakat, menjadikan SMK Bakti Karya Parigi sebagai sekolah milik bersama, sekolah milik masyarakat se-Nusantara. Saya banyak belajar dari kerja sama publik ini.
Emanuel dari Flores, Sofiana dari Nunukan, Sifa dari Bandung, Rizal dari Binalawan, Jumidah dari Riau, Eviliana dari Sebatik, Apnel dari Papua, dan juga siswa lainnya…terima kasih, ya, telah menunjukkan indahnya toleransi dalam keberagaman. Setahun bersama kalian membuat saya rindu. Maka, tahun ini hati saya mantap bergabung kembali bersama tim SMK Bakti Karya Parigi sebagai relawan. Semoga SMK Bakti Karya Parigi menjadi wadah yang mencetak manusia-manusia berbudaya, berkarakter, dan selalu menyebarkan virus-virus toleransi.
Kita adalah bagian dari benang-benang keberagaman yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Saya Sunda, kamu Aceh, dia Papua…kita disulam toleransi menjadi satu kain yang indah, Indonesia.
“Ini cara saya untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara kamu? Kabarkan/sebarkan pesan baik untuk MERAWAT kebersamaan, toleransi, dan keberagaman kamu dengan mengikuti lomba “Indonesia Baik” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.”
Sumber:
1.https://www.sbk.sch.id/
2.Ai Nurhidayat
3.Pengalaman pribadi sebagai relawan di SMK Bakti Karya Parigi
Foto: Ai Nurhidayat, Instagram @smkbaktikaryaparigi , Instagram @kelasmultikultural
Wih. Keren mbak. Mantapk. Aku mau ikut lomba ini juga. Hehe..
Wah, terima kasih Pak Guru sudah mampir di sini hehee.. Ayo ikutan Pak, kita desak keluar hoax dengan konten-konten yang positif ^^
keren mba, terima kasih sudah mengingatkan untuk merawat kebersamaan, toleransi, dan keberagaman walau terpaut jarak 🙂
So lovely, terima kasih mba :))
Indahnya pengalaman terkait toleransi dan hidup dalam berbagai keberagaman adat budaya dan adat istiadat ini. Memberikan banyak pelajaran hidup yang tidak mungkin didapat di tempat lain ya
Betuh sekali teh, pengalaman yang sangat berharga :))
Biasaan ikh, keren…👍👍👍
hihihi alhamdulillah Cep…
wah hebat ini penggagasnya. Semoga sukses dan jaya terus. Semoga saja lebih banyak lagi sekolah2 seperti ini
Ammiiiin Mba, semoga lebih banyak lagi yang mendukung ya mbaa
Kegiatan dan program seperti ini harus kita dukung ya mba. Senangnya ada toleransi yang dilakukan sejak dini
Betul sekali Mba, idealnya memang didukung semua pihak karena negara kita memang beragam..dan membangkitkan imun toleransi sejak dini adalah keharusan.
Baru dengar tentang sekolah ini. Keren dan inspiratif. Keberagaman memang seharusnya jadi penguat, bukan perpecahan
Mba Indaaaaaah, baca pesan Eman, ujung bibir ikutan ketarik dan hati terasa full penuh haru :”
Terima kasih sudah mengingatkan indahnya toleransi dan kayanya Indonesia mba Indah. Asli, baca tulisannya sedeng banget :”
Hahahaha, kebayang kan ada banyak eman eman lainnya di sana :)) thanks Ujame, kapan2 main lah ke Pangandaran untuk isi kelas profesi :)) anak-anak di sana pasti seneng
Betul sekali Mba, kekuatan untuk Indonesia ya..
Saya ikutan ketawa pas baca tulisan Eman. Cerita seperti ngorok itu memang akan jadi salah satu kenangan terindah. Bikin kangen terus sama teman-teman seangkatan
Hahaha iya kan, saya juga ikutan ketawa 😀 saking kerasnya itu ngorok haha
Komunitas Sabalad ini familiar banget, menggaungkan literasi ,soalnya anak2 Relawan TIK pernah yang kesana dan ke SMK Bakti KArya Parigi .
SAlut dengan program2nya, makasih ceritanya, remindernya untuk selalu menyulam toleransi antar sesama.
Wah iyaaa…ih keren atuh teteeeh pernah ke sana mah. Lain waktu main lagi teh ke Parigi :))
kereeen ya mba.. I really appreciate those who are taking extra miles to nurture understanding and harmony among the societies. Semoga bisa terus terlaksana ya mba
Amiiin Mba Indah 🙂 semoga banyak pihak mendukung gerakan ini. Panjang umur kebaikan :))
Adem bacanya Mbak, semoga kabar kabar yang positif dan orang orang yang memperjuangkan toleransi makin banyak di negara ini ya….
aamiiin…semoga ya mba :))
kereen banget. jadi inget juga organisasi peacegen yang digagas ama Kang Irfan Amalee.. inspiring dan menyuarakan perdamaian antar manusia dan umat beragama.
Oiyaa… beliau masuk social impact award juga kan yaa…
MashaAllah~
Saat ini sudah banyak yang abai bahwa Indonesia itu beragam. Semoga dengan saling membantu begini, semakin membuat kita semua bersatu agar semakin kuat bangsa ini.
Amiiiiin… semoga panjang umur toleransi Indonesia ya mbaa
ngomong2 soal parigi,,aku pernah kesana..scra aku besar di daerah palu…senang bgt membaca crta soal toleransi
Wah iyaaa?? ke SMK Bakti Karya nya dong mba?
Oiyaaa Mba??? beruntung sekali pernah main ke sana… saya walopun sudah 2 tahun jadi relawan disana, belum ada kesempatan juga huhu
Saya jadi teringat di salah satu ayat Al Quran tentang Allah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Nggak ada satu suku atau bangsa yang ‘sempurna’. Bangsa A punya kelebihan dan kekurangan, demikian pula bangsa C, D, dst. Dengan saling mengenal, kita dimaksudkan belajar dan meniru apa-apa yang baik dari bangsa lain selama tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Karena itu saya juga agak risih sih kalau misal ada orang yang berpendapat hanya sukunyalah yang terbaik, yang lain nggak he he.
Iya betul sekali Mba, bahkan Allah sudah mengaturnya ya… sependapat mba, tidak ada suku atau budaya yang lebih WAH..semua setara dan sama-sama berharga. :))
Keren dan Sangat Luar biasa..semoga semakin besar bangsa ini krn banyaknya orang yg Faham arti dari Toleransi ..
aamiiin, kita pun tetap bersaudara ya teh walaupun agama kita berbeda. peluk Teh Ani…
masih inget banget waktu indah masih kecil Teh Ani pernah kasih indah sajadah, dan sajadahnya masih indah pake sampe sekarang.
Masya Allah Tabarakallah ❤️. Keberagaman itu memanglah indah
MasyaAllah Tabarakallah, betul sekali Mba ^^
Sangat senang ketemu blognya Mbak, sangat inpiratif. Desain Blognya juga bagus, mbak ada rekomendasi gak dimana saya bisa beli template blog kayak begini hehehe.