Setitik Kisah Kerelawanan Ibu Rumah Tangga di Tengah Pandemi

“Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.”

Konon, orang bijak juga pernah berkata bahwa orang baik tidak akan benar-benar mati. Ia akan selalu hidup pada setiap memori orang-orang yang mengenalnya, pada karya-karya yang mengabadikannya, juga atas manfaat-manfaat yang telah ditunaikannya.

Seiring bertambahnya usia, pertanyaan “akan dikenang seperti apa ketika mati nanti?” selalu menggelayuti pikiran. Sementara, begitu banyak orang yang ingin menjadi lebih bermakna. Mereka tak segan mengorbankan waktu, materi, dan tenaganya untuk menebar benih-benih kebaikan. Berbagi ilmu, agar tercapai lebih banyak lagi kebahagiaan dalam hidupnya. Semakin banyak memberi, semakin berbahagialah ia. Ada yang menjadi guru bagi anak-anak marjinal, ada yang menjadi relawan PMI, ada juga yang membuka konseling gratis secara daring.

Jika semasa kuliah saya pernah ikut berpartisipasi sebagai relawan pada beberapa kegiatan, seperti Sea Games, Science Film Festival, hingga mengamen untuk mengumpulkan donasi bencana Gunung Merapi. Kini, sebagai ibu rumah tangga, saya bersepakat dengan suami untuk lebih memfokuskan diri mendidik anak-anak kami. Ada mereka yang membutuhkan saya lebih dari siapapun. Juga mereka yang menjadikan saya madrasah pertamanya. Maka, menunda niat untuk kembali berkontribusi menjadi relawan adalah keputusan terbaik. Bukankah mengabdikan diri di rumah sama mulianya dengan menjadi seorang relawan? 

Pandemi yang Membuka Kesempatan Itu

Waktu pun berlalu. Mimpi menjadi relawan masih sebatas angan-angan. Kalaupun kesempatan itu ada, saya berharap bisa menemukan kegiatan kerelawanan yang bisa saya lakukan tanpa meninggalkan anak-anak saya.

Hingga akhirnya virus bernama Covid-19 tiba di tanah air. Gejala sulit tidur dan cemas berlebih pun mulai saya rasakan. Bahkan survei yang dilakukan oleh platform Populix menunjukkan bahwa mayoritas ibu rumah tangga mengalami gangguan stress akibat pandemi. Berarti, saya termasuk di dalamnya.

Merasakan kecemasan berlebih membuat saya mencari “cara menjadi bahagia” di Google, dan boom! saya menemukan artikel berjudul “Selain Lebih Bahagia, Ini Manfaat Menjadi Relawan

Seperti mendapat jawaban dari Tuhan, bahwa mungkin sekaranglah saat yang tepat untuk memulai kembali mendedikasikan diri sebagai relawan. Benar saja, tak lebih dari satu jam berselancar di media sosial, ternyata saya bisa menemukan belasan lowongan relawan daring yang sesuai dengan kapasitas dan keahlian saya.

Saat itu saya menjadi sadar bahwa pandemi tak lantas menghentikan langkah kita untuk membantu sesama. Buktinya, justru karena pandemi, kini kegiatan kerelawanan pun bisa dilakukan secara daring. Ibu rumah tangga seperti saya masih bisa menjadi relawan sembari merawat anak-anak dan melakukan pekerjaan domestik di rumah. 

Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti

Adalah semboyan Universitas Katolik Parahyangan, yang memiliki arti “Berdasarkan Ketuhanan Menuntut Ilmu untuk Dibaktikan kepada Masyarakat.”

Sejatinya, ilmu yang kita miliki adalah karunia Tuhan YME, titipan Sang Pencipta yang juga harus dikembalikan lagi kepadaNya dengan cara dibaktikan kepada masyarakat. Menjadi relawan adalah salah satu cara yang dapat dipilih siapa pun sebagai bentuk syukur atas ilmu yang dimiliki, agar lebih bermanfaat bagi sesama.

Meskipun pandemi membatasi kita untuk beraktivitas di luar rumah, tetapi tidak untuk membatasi kreatifitas, termasuk melakukan pengabdian. Semangat membantu sesama harus tetap menyala meskipun tak bisa bersua.

Berbagi Isu Kesehatan Mental di Social Connect

Saat melakukan Zoom meeting bersama rekan-rekan relawan Social Connect.

Social Connect adalah sebuah komunitas kesehatan mental yang memberikan informasi dan pengetahuan tentang kesehatan mental melalui pengelolaan konten, tim medis, aplikasi, juga kampanye. Komunitas ini menjadikan isu kesehatan mental-yang dulunya dianggap tabu, menjadi wajar untuk dibicarakan.

Saya beruntung menjadi bagian dari wadah orang-orang untuk bisa bercerita dan berdiskusi tentang kesehatan mental tanpa takut akan stigma dan diskriminasi. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini, banyak orang mulai menyadari bahwa menjaga  kesehatan mental juga sangat penting.

Di Social Connect saya bertugas sebagai editor tata bahasa. Dimana semua konten mengenai pengetahuan tentang kesehatan mental, baik artikel maupun microblog, ditelaah dan disunting terlebih dahulu sebelum diunggah ke website dan media sosial.

Lucunya, meskipun saya adalah satu-satunya ibu rumah tangga yang menjadi relawan, tidak membuat teman-teman relawan lain menjadi kaku. Kami secara profesional bekerja sesuai job description dengan keadaan gelas yang sama-sama kosong. Semua setara.

Menguntai Indahnya Toleransi di SMK Bakti Karya Parigi

Siswa SMK Bakti Karya Parigi saat melakukan pemotretan untuk Pameran Ikat Celup Shibori.

Setelah menyelesaikan masa bakti di Social Connect, pada awal tahun 2021 saya dihubungi kakak kelas saya Ai Nurhidayat, pendiri kelas multikultural. Ia meminta saya untuk kembali bergabung menjadi relawan di SMK Bakti Karya Parigi setelah sebelumnya pernah menjadi relawan di sana pada tahun 2016.

Tanpa pikir panjang, ajakan tersebut pun saya aminkan. Bagaimana tidak, SMK Bakti Karya Parigi adalah sekolah yang gagasannya terealisasi berkat adanya aksi orang-orang baik. Hasil patungan donasi digunakan untuk memberangkatkan siswa dari berbagai daerah untuk bersekolah di Pangandaran. Mereka saling mengenal  dan mengalami langsung keragaman Indonesia.

Semua kebaikan yang bergulir selama lima tahun ini tentu saja berkat kerja sama semua pihak: donatur, guru, juga relawan. Saya sendiri bekerja sesuai dengan bidang ilmu yang saya pelajari, komunikasi. Bertugas mengelola konten media sosial  dan membuat newsletter setiap bulannya, mengharuskan saya mengumpulkan informasi terkait kegiatan sekolah ini setiap hari.

Dari pengelolaan konten tersebut, hati saya merasa hangat karena bisa mengenal ragam budaya Indonesia melalui cerita para siswa. Seringnya saya kagum sekaligus haru mendengar setiap kisah yang mereka bawa. Belum lagi perjuangan para guru dan relawan lain yang juga turut mendukung keberlangsungan sekolah multikultural ini.

Yang terpenting, walaupun tak pernah saling bertemu, tetapi persaudaraan kami begitu kuat. Kegiatan kerelawanan saya di sekolah ini pun mampu memupuk rasa cinta saya terhadap Indonesia.

Walaupun pandemi turut memukul perekonomian sekolah yang digerakkan tangan-tangan publik ini, tetapi kami tak lantas berdiam diri. Para relawan, siswa, dan guru membuat kain ikat celup shibori untuk dipasarkan dan puji Tuhan sukses menjadi kegiatan penggalangan dana.

Sebagai relawan, saya turut bangga karena kami bisa bangkit bersama.

Belajar Bersama Anak-Anak Hebat di Inspiration Factory Foundation

Saat mengajar anak dari daerah Cakung dengan tema menggambarkan perasaan hari ini.  

Berangkat dari rasa kepedulian pada pendidikan anak-anak marjinal di Jakarta, Inspiration Factory Foundation kemudian bergerak mengumpulkan banyak relawan untuk mengajar. Jika dulu sebelum pandemi para relawan mengajar di kolong-kolong jembatan, kini siapa pun bisa ikut serta mengajar secara online walaupun #dirumahsaja. Kesempatan ini tentu saja tidak saya sia-siakan. Setiap hari Sabtu atau Minggu, disela keterlibatan saya sebagai relawan di SMK Bakti Karya Parigi, saya menyempatkan diri untuk ikut berpartisipasi sebagai fasilitator di Inspiration Factory Foundation. Setiap anak sudah dibekali handphone untuk melakukan Zoom meeting oleh relawan lain yang bertugas, sementara fasilitator bertugas untuk menyampaikan materi yang dapat membangun self-esteem anak-anak didiknya.

Sebagai fasilitator, saya kembali belajar tentang public speaking, tentang bagaimana mengkomunikasikan sebuah pesan agar tersampaikan dengan baik. Walaupun audience-nya anak-anak rentang usia 6 sampai 10 tahun, ternyata tugas ini tak bisa disepelekan juga. Kami harus menjaga fokus mereka dan membuat suasana belajar menjadi lebih menyenangkan agar anak-anak tidak bosan.

Berbagai karakter murid pun sudah pernah saya temui. Ada yang aktif menjawab setiap pertanyaan, ada juga yang diam membisu seribu bahasa, hehehe. Mereka memang lucu sekali.

Dari anak-anak ini saya banyak belajar tentang ketulusan, juga tentang semangat mencari ilmu. Tak sedikit dari mereka yang sehari-harinya ikut orang tuanya berjualan keliling, tetapi tetap semangat belajar bersama kami.

Alih-Alih Memberi,

dengan Menjadi Relawan

Justru Saya Mendapat Lebih Banyak

Saya berbagi ilmu, tetapi kemudian mendapatkan ilmu lebih banyak lagi.

Terlihatnya memang seperti saya yang memberi, nyatanya saya menerima lebih banyak. Dengan menjadi relawan, saya banyak belajar tentang teknik penulisan artikel,  public speaking, penyuntingan tulisan, desain microblog dan newsletter, pengetahuan tentang kesehatan mental, juga bagaimana cara membangun self-esteem yang baik. Yang paling penting, menjadi relawan membuat saya menjadi pribadi yang gemar bersyukur.

Saya kira saya akan kelelahan dan sakit, nyatanya saya lebih sehat dan bahagia.

The more we give, the happier we feel. Menjadi relawan membuat saya dapat menyerap energi yang dibutuhkan oleh diri, energi kebahagiaan.

Bukankah orang yang bahagia sel-sel tubuhnya tumbuh dengan baik? Itulah mengapa menjadi relawan membuat sehat jasmani dan rohani.

Saya kira, #dirumahsaja membuat saya kesepian, nyatanya menjadi relawan membuat saya banyak teman.

Dengan menjadi relawan, saya dapat kembali membangun networking dan bertemu dengan orang-orang baru yang memiliki semangat juang yang sama.

Menjadi Suka dan Rela

Bukan hanya saya, di luar sana ada banyak ibu rumah tangga yang menjadi relawan sosial.
Ibu Ari Triastutik misalnya, ia terpanggil untuk menjadi pemulsara jenazah pasien Covid-19. Juga ibu Karmini, seorang ibu rumah tangga yang merupakan relawan sopir ambulans Covid-19.

Berkaca kepada dua perempuan tangguh di atas, membuat saya menyadari bahwa menjadi suka dan rela mengabdikan diri kepada masyarakat tidak berbatas pada usia, jenis kelamin, maupun status yang disandang. Siapa pun bisa menjadi relawan. Siapa pun bisa turut melayani sesama. Karena dengan melayani orang lain sama dengan melayani diri sendiri pada saat bersamaan.

Mari tetap nyalakan semangat mengabdi dan bersinergi untuk negeri, meski di tengah pandemi!

 

#LombaBlogUnpar

#BlogUnparPengabdian

Setitik Kisah Kerelawanan Ibu Rumah Tangga di Tengah Pandemi

Sumber Rujukan

  • https://unpar.ac.id/spiritualitas-dan-nilai-dasar/
  • https://socialconnect.id/
  • https://www.sbk.sch.id/
  • https://www.inspirationfactory.org/
  • https://www.parenting.co.id/dunia-mama/selain-lebih-bahagia-ini-5-manfaat-menolong-orang-lain-dengan-menjadi-relawan
  • https://www.liputan6.com/regional/read/4634842/kisah-karmini-ibu-rumah-tangga-asal-bantul-yang-jadi-sopir-ambulans-pasien-covid-19
  • https://www.jawapos.com/surabaya/19/07/2021/para-petugas-pemakaman-jenazah-covid-19-di-surabaya-berbagi-cerita/
  • https://www.info.populix.co/post/survei-populix-dan-teman-bumil-dampak-pandemi-terhadap-kondisi-mental-keluarga

Olah Grafis dan Video: Indah Riadiani