Cerita ini dinarasikan oleh Nur Aziz, alumni SMK Bakti Karya Parigi yang juga ikut membantu saya dalam menyajikan majalah RAGAM.

Sederet penghargaan telah Aziz raih, diantaranya Juara III Lomba Menulis Tingkat UPTD Tikomdik Jabar 2021 , juara 3 LKS Design Graphic 2019 Tingkat Kabupaten Pangandaran, dll.

 

 

Aziz, seorang anak kampung asli Pangandaran tentu saja kaget saat pertama kalinya ia melihat siswa yang berasal dari Papua, Aceh, Makassar, Maluku, Jawa, dan daerah lain yang berbaur di kampung halamannya. Berbagai prasangka dan pertanyaan muncul di kepalanya. Ia penasaran, benarkah orang Papua itu keras? Benarkah orang Jawa itu permisif? 

Satu yang pasti, ia siap menimba ilmu di SMK Bakti Karya Parigi, tepatnya di Dusun Cikubang, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. SMK Bakti Karya Parigi memiliki program Kelas Multikultural, dimana para siswa akan dilibatkan langsung dalam interaksi antarbudaya. Para siswa mendapatkan beasiswa full selama 3 tahun hingga lulus. Hidup bersama dengan siswa lain dari berbagai daerah, tinggal satu atap di asrama putra dan asrama putri.

Ini pengalaman pertamanya bersekolah dengan orang yang berbeda fisik, latar belakang, dan kebiasaan. Ada yang berkulit hitam, dengan rambut keriting. Juga ada yang berbicara dengan tutur dan gaya bicara yang seperti menyentak. Awalnya tentu saja terasa aneh. Perlu adaptasi panjang untuk bisa memahami 34 manusia dari daerah yang berbeda-beda.

Awalnya Aziz takut untuk berbaur dengan mereka yang beragama nasrani, takut akan terbawa ritual agama mereka katanya. Juga takut, mereka tidak akan menerimanya sebagai muslim. Begitu pun saat melihat teman angkatan yang berbadan besar, Aziz menebak bahwa mereka itu kasar dan jahat. Sementara postur tubuhnya lebih mungil dari mereka, jadi merasa inferior.

 

Perlahan … hari demi hari ia jalani keberagaman tersebut. Ternyata beragam aktivitas sekolah dan kegiatan asrama mampu membuat Aziz dan siswa lainnya terbiasa dengan perbedaan. Prasangka-prasangka mulai terpatahkan satu persatu. Toleransi mulai tumbuh di antara perbedaan yang mereka bawa. Ketika waktu beribadah tiba misalnya, kawan-kawan nonmuslim justru mengingatkan siswa yang muslim.

“Hei, kamu shalat dulu, udah adzan, tuh!” ucap Danci Yessa, seorang Kristen Protestan. Danci berasal dari Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Selain satu angkatan, Danci juga adalah kawan sekamar Aziz di asrama. Tak jarang Aziz dan Danci beribadah di waktu yang bersamaan. Namun, itu tidak masalah bagi mereka, karena mereka mau dan mampu saling menghargai satu sama lain.

Selain Danci, pengalaman toleransi lainnya Aziz rasakan ketika bersama Elin Sri Handayani. Elin berasal dari Banten, Suku Baduy. Berbeda dengan Aziz yang menggunakan Bahasa sunda yang halus, Elin terbiasa dengan Bahasa Sunda yang kasar. Awalnya tentu tidak nyaman. Namun, lagi-lagi itu menjadi tidak masalah ketika mereka bisa menanamkan nilai-nilai toleransi.

Kata Elin, “Toleransi dan rasa saling menghargai itu muncul ketika kita berteman dengan orang yang berbeda.”

Teman lainnya yang akrab dengan Aziz adalah Karlos, asal Flores, NTT yang beragama Katholik. Dari Karlos lah Aziz tahu hal-hal yang tidak ia ketahui tentang Katholik. Menurut Karlos, toleransi antarumat beragama itu perlu, supaya tidak ada konflik yang terjadi.

“Saya sudah terbiasa dari kecil berteman dengan orang yang berbeda agama, bahkan sudah merasakan pentingnya toleransi, karena jika tidak ada toleransi, akan ada banyak orang yang tidak menghormati agama lain, akhirnya saling bermusuhan. Berteman dengan teman yang berbeda agama rasanya senang sekali, karena bisa saling berbagi pengetahuan dan bertanya satu sama lain,” ujar Karlos meyakinkan.

Dalam Islam sendiri pun sudah dijelaskan bahwa tidak ada unsur pemaksaan dalam beragama. Disebutkan dalam kitab suci Al-Quran bahwa siapapun dipersilahkan memilih agama. Lakum dinukum waliyadin. (QS. Al- Kafirun Ayat 6) yang artinya “Untukmu agamamu, dan untukulah, agamaku.”. Maka, sangat tidak dibenarkan jika ada unsur paksaan dalam beragama. Muslim bebas beribadah ke mesjid, begitupun penganut agama lain, juga bebas beribadah ke tempat ibadahnya.

Ketika kita berada dalam lingkungan yang berbeda, baik suku, bahasa, atau bahkan agama, terkadang kita merasa tidak nyaman, bukan? Selain karena perbedaan itu, konflik dan permusuhan juga terjadi karena sikap dan perilaku yang merusak nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Maka dari itu, sikap dan perilaku kita juga harus dilandasi rasa kasih sayang antarsesama yang memudahkan hadirnya toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.

#MeyakiniMenghargai