Kali ini saya akan menceritakan Yefta Peyon. Anak lelaki berkulit sawo matang itu lahir di “Negeri Matahari Terbit”, bukan di Jepang, tapi di Yalimo, Provinsi Papua Pegunungan, Indonesia.

Daerah tempatnya dibesarkan memang indah karena terletak di daerah pegunungan. Ketinggian Gunung Trikora dan salju di daerah pegunungan tengah Papua menjadikan tempat kelahirannya sangat menarik. Oleh karena itu, tidak heran jika setiap orang yang berkunjung kesina sering mengatakan bahwa “Yalimo adalah negeri matahari terbit”, karena kita bisa melihat matahari terbit dengan jelas di sana.

Di Indonesia, hanya daerah pegunungan tengah Papua, khususnya Wamena, yang memiliki salju dengan suhu tertinggi pada pagi dan malam hari. Salah satu keunikan daerahnya adalah adat Bakar Batu, suatu ritual turun-temurun yang dilakukan dalam berbagai acara seperti pernikahan, penyambutan, atau acara adat. Festival 28 Bahasa SMK Bakti Karya Parigi menjadi salah satu momen di mana Yefta dan kawan-kawan asal Papua menghidangkan makanan hasil Bakar Batu kepada pengunjung. Selain itu, pakaian adat seperti koteka atau humi dan tarian Yunggul juga merupakan bagian dari kekayaan budaya mereka di daerah pegunungan.

 

 

 

 

Yefta dan keluarganya hidup di daerah pegunungan, dan rumahnya terletak tepat di tengah-tengah gunung. Ayah dan ibunya setiap hari pergi berkebun, menanam ubi dan sayuran. Ibunya juga setiap hari berjualan sayur di pasar. Mereka berpesan pada Yefta, bahwa jangan membatalkan semangat ketika jatuh, tetapi bangkit dan cobalah lagi sampai berhasil. Semua pesan itu Yefta bawa dan ia praktikan di SMK Bakti Karya Parigi.

Awalnya Yefta sama sekali tidak mengetahui informasi tentang SMK Bakti Karya Parigi. Jangankan untuk bersekolah di Pangandaran, untuk bersekolah di luar Yalimo saja ia masih berpikir panjang. Namun ada seorang relawan yang mengajaknya untuk bersekolah dan mengirimkan surat-surat untuknya mendaftar di sana. Akhirnya ia pun mendaftar melalui relawan dan lolos. Ia kira sekolahnya di Bandung, tetapi ternyata melewati Bandung dan masuk hutan sampai tiba di Pangandaran.

Bersekolah di SMK Bakti Karya Parigi, meski letaknya di kampung, tapi tidak sama dengan kondisi di kampungnya yang gurunya kurang lengkap. Di kampung Yefta, terkadang ia tidak belajar sampai tiga bulan lebih karena gurunya tidak ada. Namun meskipun gurunya tidak ada, Yefta dan kawan-kawan selalu ke sekolah dan melakukan berbagai kegiatan.

Di SMK Bakti Karya Parigi setiap guru mengisi materi sesuai keahliannya masing-masing. Cara belajar yang seru, merdeka, dan menyenangkan sudah dilakukan bahkan jauh sebelum Kurikulum Merdeka digaungkan. Sehingga Yefta pun semangat untuk mengejar mimpi, karena guru-guru di SBK selalu mendukung dan membersamai. Siswa-siswi di SMK Bakti Karya Parigi pun hidup berdampingan antara satu sama lain meski berbeda agama, suku,ras, dan bahasa. Itu menjadi hal yang membuat Yefta betah bersekolah di SMK Bakti Karya Parigi.

Harapan Yefta, kelak setelah lulus dari SMK Bakti karya Parigi, ia bisa melanjutkan ke jenjang kuliah untuk meraih mimpi dan cita-citanya. Setelah lulus kuliah ia akan membangun kampung halamannya agar adik-adiknya di sana bisa lebih mudah mengakses pendidikan.