Kali ini saya sedikit mengobrol dengan Jimi Yamin. Siswa SMK Bakti Karya Parigi asal Malaysia, anak dari buruh migran indonesia yang bekerja di Malaysia. Ia lahir dan besar di Tawau, Malaysia.
Tawau merupakan nama sebuah keresidenan dan juga kota di negara bagian Sabah, Malaysia. Tawau kini merupakan kota ketiga pertama terbesar di Kalimantan Timur Utara setelah Kota Kinabalu dan Sandakan. Kota ini dihubungkan dengan ibukota Kalimantan Tengah, Kota Kinabalu melalui jalan raya sejauh 500 km, jalur udara Bandar Udara Tawau dan laut pelabuhan Tawau.
Di Tawau banyak sekali bangunan rumah tradisional dari kayu. Orang-orangnya pun masih berpakaian tradisional sembari menjajakan makanan khas sana. Jika kita melihat rumah dengan warna-warni nyentrik, berarti pemilik rumah itu adalah orang kaya di kota Tawau.
“Meski masih tradisional, Tawau sudah sangat maju. Bahkan Tawau bisa dikatakan termasuk salah satu kota yang termaju berkat kehadiran mall, lapangan golf, dan bandara,” jelas Jimi.
Sebenarnya orang tua Jimi berasal dari Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Namun sejak muda, kedua orangtuanya merantau ke Malaysia untuk mencari pengalaman baru yang tidak mereka temukan di Indonesia.
Ia dan keluarganya hidup berdampingan dengan keramaian kota. Ayahnya seorang pekerja kontrak dalam bidang bangunan. Walaupun hidup sederhana, ayah Jimi selalu menasehatinya untuk menjadi anak yang lebih baik dan menjaga sopan santun. “Menjadi pintar memang penting, tetapi lebih penting memiliki attitude yang baik,” kata Jimi sambil mengingat-ingat pesan ayahnya.
Di Malaysia, Jimi memiliki hobi bermain barongsai dan sering mengikuti beberapa kompetisi Barongsai tingkat daerah di Malaysia. Tak jarang ia mendapatkan penghargaan, seperti juara 3 Sabah Lion Dance Competition dan Top Runner Lion Dance Competition Tawau.
SMK Bakti Karya Parigi sendiri ia temukan lewat wali kelasku yang menawarkan sekolah gratis di Pulau Jawa. Sebenarnya ia sempat ragu karena akan berpisah dengan orang tua. Namun setelah ditelusuri lebih lanjut di akun Instagram SBK, aiaku jadi tertarik karena kapan lagi bisa satu sekolah dengan anak-anak dari Sabang sampai Merauke.
Benar saja, saat pertama kali tiba di Pangandaran, ia bisa merasakan pengalaman berbeda hidup berdampingan dengan saudara setanah air yang selama ini terpisah pulau. “Oh, begini ya cara Orang Papua berbicara. Oh begitu ya Orang Sunda berbicara dengan orang yang lebih tua. Semuanya menjadi hal baru dan sangat berharga bagiku,” tambahnya
Ada satu kejadian lucu saat pertama kali tiba di Kampung Nusantara. Saat itu Jimi dan siswa baru lainnya, dikumpulkan dan diberitahu untuk menggunakan kata “Punten” setiap melintas rumah warga. Namun mereka tidak memberitahu kata yang akan diucapkan warga setelah mereka mengucapkan kata “Punten”.
Setelah selesai pengarahan, Jimi pun mempraktikkan apa yang diajarkan oleh kakak kelasnya. Saat ia mengatakan punten, ada seorang ibu membalasnya dengan kata “Mangga”. Saat itu ia mengira ibu yang mengatakan “Mangga” itu sedang menawarkan Jimi buah Mangga. Ternyata setelah ia tunggu-tunggu, si ibu tidak kembali untuk memberikanku mangga.
Jimi pun menceritakannya kepada kakak kelas. Sontak mereka pun menertawakan Jimi. Katanya Mangga disini itu artinya “Silakan”. Setelah kejadian tersebut, Jimi tidak pernah menunggu lagi ketika ada warga yang mengatakan Mangga, karena takut kejadian yang sama terulang kembali. Itu memang pengalaman memalukan sekaligus kocak bagi Jimi.
Harapan Jimi, semoga setelah lulus dari SMK Bakti karya Parigi ia bisa melanjutkan ke jenjang kuliah. Bisa menjadi sarjana jurusan hukum dan membanggakan kedua orang tuanya yang telah merelakannya merantau untuk menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara.