ai nurhidayat
menenun keragaman di kelas multikultural
Ambon mencekam. Kerusuhan tahun 1999 menyulapnya menjadi “lapangan berdarah”. Saat itu genderang babak satu konflik antar kelompok agama, baru saja ditabuh. Konflik itu pecah dan meluas ke seantero Kota Ambon, menimbulkan pertikaian yang berlarut-larut dan tak kunjung usai.
Televisi pun tak henti menayangkan berita bagaimana ricuhnya Ambon kala itu. Ambon bertebaran dengan puing-puing bangunan rumah ibadat dan rumah tinggal yang dilalap si jago merah. Banyak desa yang tersegregasi dengan ketat. Ada wilayah merah dan wilayah putih. Semua terpecah belah.
Insiden berdarah itu menorehkan luka dan ketakutan pada banyak jiwa, termasuk Ismail Rumaru. Pemuda asal Maluku yang lahir dan besar di Seram Bagian Timur ini memang tak menyaksikan langsung bagaimana konflik itu terjadi. Namun, cerita yang ia dengar dari televisi dan keluarga membuat hatinya penuh sesak dengan rasa takut. Konflik itu melekat kuat di memorinya, membuatnya trauma dan menjauh dari teman-teman sekolah yang tak seiman dengannya. Ia menjauh dari Heribertus Lukas Boruk, siswa asal Flores yang berbeda agama dengannya. Dibenak Ismail, Heribertus bisa saja berpotensi mencelakainya.
Puji syukur, ketakutan Ismail Rumaru hanya terjadi saat awal-awal kedatangannya di SMK Bakti Karya Parigi. Setelah seminggu berinteraksi, lanjut sebulan, hingga setahun, ketakutannya mulai mereda. Setiap hari bertemu dengan siswa dari berbagai suku, saling bercerita, makan bersama, belajar di ruangan yang sama, membuat kecurigaan Ismail tak pernah terbukti. Ismail dan Heribertus bahkan mampu menjalin persahabatan meski berbeda keyakinan dan latar belakang. Di sini, SMK Bakti Karya Parigi berperan sebagai ruang pertemuan atas perbedaan yang mereka miliki. Memeluk trauma Ismail dengan menunjukkan betapa indahnya hidup bersama dalam keragaman.
Di balik sekolah multikultur ini, ada tangan yang menenun helai demi helai benang-benang keragaman, menjadikannya satu kain yang indah bertuliskan #KitaSATUIndonesia. Tangan itu milik Ai Nurhidayat. Penenun yang bernarasi soal cintanya terhadap keragaman Indonesia, lewat suatu kelas bernama Kelas Multikultural.

MEMBERI ARAHAN – Ai Nurhidayat bersama siswa-siswi SMK Bakti Karya Parigi saat melakukan “Aksi Pungut Sampah” Sabtu (4/12/2021) di pantai timur Pangandaran. (Foto: Dokumen Pribadi)
Perjalanan Menerima Keragaman
Ai Nurhidayat memiliki masa kecil yang menyenangkan. Hobinya mencari kayu bakar dan gemar berinteraksi dengan alam bebas. Ia juga seorang anak gembala dengan hasrat bertualang yang tinggi, selalu skeptis akan hal-hal baru yang ada di hadapannya. Si Boy, begitulah Ai Nurhidayat disapa teman-temannya di Dusun Cikubang, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran.
Mengenal alam sambil mengekor orangtuanya mengelola kebun dan sawah adalah hal yang paling ia tunggu-tunggu. Dari unsur-unsur alam itu pun ia belajar banyak hal, termasuk tentang titik bermulanya kesadaran bahwa apa yang ada di dunia ini begitu beragam. Pohon-pohon saja beragam, apalagi manusia. Pemahaman tentang keberagaman itu pun terus menggelinding di kehidupannya.
Masa kecil pria kelahiran Ciamis, 22 juni 1989 ini sempat dibuat penuh ambisi untuk mengejar peringkat satu di kelas. Semuanya memang terbayar, karena selain cerdas, Ai juga rajin belajar. Namun satu hal yang membuatnya tertampar adalah ketika ia jatuh dari pohon nangka. Berhari-hari absen dari sekolah membuatnya tergeser dari peringkat satu. Hanya karena tidak masuk kelas, ia merasa menjadi bodoh karena ranking-nya turun. Selain membuatnya marah besar, kejadian itu pun membuatnya tidak setuju dengan sistem ranking. Belakangan, ia sadari betul bahwa apa yang menjadi ambisinya itu hanyalah pseudo belaka, karena yang terpenting dalam sebuah pendidikan adalah suasana belajar yang menyenangkan.
Lepas Sekolah Dasar, ia melenggang melanjutkan pendidikannya untuk mondok selama enam tahun di Pesantren Darussalam Ciamis. Itu adalah enam tahun yang membuatnya terbuka menerima perbedaan. Ai mulai mengasah jiwa tolerannya di pesantren ini. Namun pergaulannya masih terbatas katanya, karena meskipun bertemu dengan orang yang berbeda suku, tetapi masih bergumul dengan teman-teman yang satu agama.
Sampai pada titik ia berkualiah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2007, lalu mendapat beasiswa di Universitas Paramadina pada tahun 2008, barulah ia menemukan keragaman yang sesungguhnya. Di bawah naungan satu atap yang sama, Ai dipertemukan dengan penerima Paramadina Fellowship lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Suku, bahasa, dan agama mereka beragam. Hidup bersama selama empat tahun di asrama dalam keberagaman, membuatnya semakin mengenal Indonesia. Begitulah kehidupan membuat pemahaman tentang keragaman yang ia pelajari dari ayah ibunya, semakin menggelinding dan bertambah besar. Cintanya telah berlabuh pada indahnya dimensi keragaman Indonesia yang begitu kaya.
Pulang untuk Membangun Kampung Halaman
Mencari Ai di Universitas Paramadina berarti mencari Sekertaris Jenderal (Sekjen) Serikat Mahasiswa. Ai adalah pendiri Serikat Mahasiswa sekaligus sekjen pertama. Keaktifannya ini membawa dirinya terkoneksi dengan berbagai teman dari ragam latar belakang, termasuk Leo dan Marcel, aktivis dari Papua. Selain pernah empat kali bertandang ke Papua, Ai juga sempat magang sebagai kepala program di Radio-Televisão Timor Leste pada tahun 2011. Selama perjalanannya, Ai diam-diam memungut tiap keping hal yang menginspirasinya. Ia kagum dengan keberanian pemuda-pemuda Timor Leste yang mau membuka diri dengan masyarakat global. Banyak anak-anak muda di sana yang membawa relawan-relawan untuk mengajarkan Bahasa Inggris kepada warganya, bahkan sampai membuat film. Koneksi mereka luas hingga lintas negara.
Melihatnya, Ai langsung teringat pada tempat di mana ia bermula, kampung halamannya. Pangandaran adalah lokasi wisata potensial yang didatangi para wisatawan mancanegara. Namun ia merasa sebagian masyarakatnya tidak berupaya menghubungkan diri dengan dunia luar. Padahal visi kabupatennya adalah “menjadi destinasi wisata yang mendunia”. Kondisi pendidikan di kampungnya pun terbilang kritis. Boro-boro belajar Bahasa Inggris, dulu, untuk bisa menemukan buku saja butuh menempuh jarak 135 km ke toko buku. Perpustakaan memang ada, tetapi saat itu selalu terkunci.
Tak hanya itu, Ai Nurhidayat pun resah melihat kampung halamannya sepi pemuda. Pada setiap acara-acara positif, yang ditemuinya hanyalah bocah-bocah cilik dan para orang tua. Sekalipun ada, pemuda di kampung mayoritas sering berbuat ulah, berkelahi di hajatan sampai digiring ke kantor polisi. Sisanya adalah pemuda yang merantau ke kota, tetapi kebanyakan lupa untuk pulang kembali ke desa. Tentu Ai tak mau menjadi bagian dari mereka, terlena urbanisasi seolah menutup mata dengan kondisi desanya. Mungkin akan sedikit sulit mencari nominal rupiah di desa, tetapi bukan berarti akan sulit menemukan kebahagiaan. Bukankah masyarakat desa yang melek pendidikan juga sebuah kebahagiaan yang tak terkira? Maka bulatlah tekad Ai Nurhidayat untuk pulang ke kampung halaman setelah lulus kuliah.
Tahun 2012, setelah menyandang gelar sarjana ilmu komunikasi, Ai pun melunasi janji untuk pulang dan merelakan kesempatan karirnya yang demikian terbuka di ibu kota. Ia mulai dengan mengumpulkan pemuda-pemuda desa untuk membentuk sebuah komunitas, Sabalad namanya. Sabalad sendiri berasal dari Bahasa Sunda, “balad” yang artinya kawan. Maka Sabalad berarti seperkawanan atau teman sepermainan. Intinya komunitas ini adalah wadah anak-anak muda di desa untuk menelurkan aspirasi, gagasan, cita-cita, ide, dan partisipasinya dalam mewujudkan aksi nyata di masyarakat.
Sejak dulu, komunitas ini ramai dengan diskusi jangkriknya. Berdiskusi tentang apapun saat jangkrik-jangkrik mulai bersahutan, dari selepas isya hingga menjelang adzan subuh. Mereka rutin melakukannya di sebuah saung kecil yang berdiri di atas lahan milik ayahanda Ai yang kini telah diwakafkan. Saung Sabalad namanya. Saung sederhana itu dibangun atas hasil patungan para anggotanya. Ada yang membawa papan, bambu, kayu, hingga atap dari alang-alang kering. Saung Sabalad, biar kecil tetapi jadi saksi geliat anak muda yang membangun desanya.

BERFOTO DI DEPAN SAUNG – Ai bersama teman-teman Komunitas Sabalad saat kedatangan kawan baru dari Bandung, Jerman, dan Jepang. (Foto: Ai Nurhidayat)
Membawa prinsip “mencari ilmu selamanya, mencari kawan sebanyak-banyaknya”, Ai berhasil memperluas jejaring Komunitas Sabalad dengan spirit “kawan dan ilmu”. Aksi kolektifnya mengundang banyak aktivis-aktivis dari luar desa, bahkan luar negeri untuk datang berdiskusi dan berkolaborasi. Di komunitasnya, Ai tak menawarkan hal yang muluk, cukup memberi ruang kepada pemuda untuk bercerita, berkreasi, juga berinovasi. Sampai terwujudlah gagasan untuk membangun perpustakaan, mengolah kebun di lahan hibah, bertani, berekspresi lewat teater, melakukan workshop ke sekolah-sekolah, beternak ayam dan domba, memproduksi pupuk kandang, hingga memproduksi madu juga minyak kelapa murni untuk dipasarkan.
Komunitas itu benar-benar hidup. Desanya lebih meriah, walaupun kini Sabalad sudah berubah bentuk menjadi gagasan yang lebih serius ke dalam lembaga pendidikan.

RAMAI – Berdiskusi di Saung Sabalad, basecamp sekaligus perpustakaan pertama dan satu-satunya di Dusun Cikubang. (Foto: Ai Nurhidayat)

BERBAGI – Komunitas Sabalad membagikan benih unggul secara gratis kepada masyarakat. (Foto: Ai Nurhidayat)

ENGLISH FUN – Pelatihan Bahasa Inggris untuk anak-anak di kampung, dengan mengusung metode yang menyenangkan, “bermain sambil belajar”. (Foto: Ai Nurhidayat)

MENJUAL PRODUK – Minyak kelapa murni dan madu yang menjadi produk unggulan Sabalad. (Foto: Ai Nurhidayat)
Bapak Bilang Ada Sekolah Bangkrut
“Masa ada sekolah yang mau bangkrut di kampung. Seperti tidak ada pemuda yang bertanggung jawab sama pendidikan saja,” kata Pak Dayat, ayahanda Ai Nurhidayat. Alih-alih mencernanya sebagai sebuah sindiran, Ai malah semakin termotivasi.
Masih melibatkan komunitas, Ai pun mengajak teman-teman Sabalad dari tenaga profesional untuk mengajar di sekolah yang hampir bangkrut tersebut. Sekolah itu bernama SMK Bakti Karya Parigi, berlokasi di bekas gudang kelapa yang sangat memprihatinkan. Jumlah muridnya bisa dihitung jari. Untuk tiga angkatan saja, siswanya hanya berjumlah tak lebih dari 20 orang. Sistem sekolahnya pun serba terbatas, tak heran jika sekolah ini berada di ambang kebangkrutan. Di sinilah Ai dan Komunitas Sabalad membuktikan perannya dalam pendidikan. Perjuangan menyelamatkan sekolah dari ancaman pembubaran, perlahan dimulai.
SMK Bakti Karya Parigi sebagai sekolah gerakan publik adalah benar adanya. Atas inisiasi Ai Nurhidayat, sekolah itu diakuisisi di bawah Yayasan baru bernama Yayasan Darma Bakti Karya yang diketuai oleh Ai Nurhidayat sendiri. Sekolah kemudian dipindahkan dalam satu kawasan yang sama dengan Saung Sabalad.
Meskipun dalam perjalanannya Ai kerap menemukan kesulitan, seperti banyaknya biaya yang habis untuk mengurus legalitas lembaga, hingga persoalan lahan. Namun bukan Ai namanya jika tidak nekat mencari solusi. Ia berhasil membujuk ayah dan ibunya untuk mewakafkan lahan keluarga seluas 3.660 m untuk membangun gedung sekolah dengan empat pintu kelas. Saat itu dana pembangunannya tentu saja donasi dari orang-orang baik. Bahkan sampai ada yang rela menjual motornya untuk patungan kebaikan ini. SMK Bakti Karya Parigi adalah #SemangatSalingBantu yang mewujud dalam bentuk lembaga pendidikan.

Foto: Ai Nurhidayat
Menjemput Anak-Anak Bangsa dari Pelosok Negeri
Setelah rampung urusan lahan dan bangunan, tantangan selanjutnya adalah memberikan ruh pada sekolah.
Ai mulai mengingat kembali pengalaman saat ia mengajak Leo dan Marcel dari Papua untuk main ke kampung halamannya. Saat itu, untuk pertama kalinya, kedua teman Ai berhasil mengagetkan masyarakat desanya yang “tidak terhubung” dengan dunia luar. Antara lucu dan sedih memang ketika melihat reaksi masyarakat sekitar saat berpapasan dengan Leo dan Marcel. Lucu karena ekspresi mukanya yang sekaget itu sampai melirik terbengong-bengong, tetapi juga sedih karena “apakah teman-teman dari Papua memang seasing itu bagi warga desanya?”. Akhirnya pikiran Ai bergulir pada suatu ide tentang mempertemukan masyarakat dengan ragamnya suku di Indonesia lewat Kelas Multikultural. Lalu saat Sabalad berulang tahun, ide Kelas Multikultural mulai dicetuskan.
TAMU DARI PAPUA – Kedatangan Leo dan Marcel dari Papua. (Foto: Ai Nurhidayat)
Gagasan ini semakin didukung oleh anggota komunitas lainnya lantaran sadar bahwa pendidikan “di ruang kelas” zaman sekarang begitu terbatas. Sejak SD sampai SMA, kebanyakan siswa hanya bertemu dengan siswa lain yang berasal dari lingkungan yang sama, desa yang sama, paling jauh juga satu kecamatan yang sama. Hingga saat di sebuah hajatan pernikahan, mereka bergurau tentang kopi yang mereka seruput “Kopi dari berbagai daerah saja bisa kita rasakan di Pangandaran. Kenapa manusia nya nggak bisa? Kenapa tidak mencoba untuk menghadirkan keberagaman manusia dari berbagai daerah dalam suasana pembelajaran?” pikir mereka.
Ide Kelas Multikultural pun tercetus dan serius untuk diwujudkan dengan sebuah gerakan. Gerakan yang memberi tempat, mengakui, mengapresiasi, dan melindungi keragaman melalui pendekatan pendidikan. Selain itu, Kelas ini juga diharapkan bisa menumpas kesenjangan pendidikan lintas pulau. Bahwa setiap anak bangsa, kaya-miskin, tinggal di Jawa maupun di luar Jawa berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang sama, setara.
Ingatan tentang merawat alam yang diajarkan orangtuanya, membawa Ai menggagas jurusan ekologi di SMK Bakti Karya Parigi. Misinya mulia, ia ingin alam terus tersisa untuk generasi berikutnya. Salah satu caranya dengan menghidupkan pemahaman tentang pentingnya wawasan ekologi. Selain itu, agar siap menghadapi persaingan di era industri 4.0 dibutuhkan juga kecakapan di bidang multimedia. Berangkat dari dua tujuan itu, Ai dan para pengelola lembaga mengusung kurikukulum “Pendidikan Terpadu”, yang berfokus pada jurusan multimedia dan ekologi, dengan merangkum 23 mata pelajaran sesuai dengan Kurikulum Nasional.
Karena gerakan publik, sekolah ini pun tetap mengikutsertakan partisipasi publik dalam proses pembelajarannya. Setiap Sabtu dan Minggu diadakan Kelas Profesi, dimana siapapun dari kalangan profesional bisa datang mengajar untuk memberikan referensi dunia kerja, teladan,dan motivasi kepada para siswa. Kelas ini terbuka bagi siapa pun: petani, nelayan, programmer, pedagang, influencer, penjahit, polisi, dan profesi-profesi lainnya, semua bisa ikut terlibat. Bahkan, sejak 2021, Kelas Profesi dibuka setiap hari sekolah, baik secara online maupun offline.
Ihwal biaya pendidikan, biaya hidup, seragam, makan, juga biaya keberangkatan dari daerah, semuanya digratiskan. Saat itu Ai dan kawan-kawan gigih mengampanyekan gagasan Kelas Multikultual di berbagai media, sehingga mendapatkan dukungan donasi dari berbagai pihak. Lagi-lagi dana yang terkumpul berkat urunan publik, atau biasa kita kenal dengan istilah crowdfunding.
Setiap bulannya donatur diminta untuk merelakan jatah tiga kali makan baso seharga minimal Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk satu siswa. Besar beasiswanya sendiri untuk setiap siswa sampai kelulusan adalah Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Saat itu Ai dan teman-teman berhasil menjaring sekitar 40 donatur yang berasal dari relasi dan circle pertemanannya, sisanya berasal dari bantuan pemerintah. Tak hanya sekedar mendonasikan uang, donatur pun berkesempatan untuk turut memotivasi, memantau, mengevaluasi perkembangan siswa, juga terlibat dalam Komite Sekolah.
Garis start dilalui dengan menyebar gagasan lewat media animasi dan website ke jejaring komunitas di setiap daerah. Melalui para relawan , Ai mewakilkan diri mengundang siswa dari tiap pelosok negeri untuk bersekolah di SMK Bakti karya Parigi. Bermodal transparansi gagasan dan kepercayaan, relawan-relawan mendatangi rumah siswa yang memenuhi kriteria-untuk meyakinkan orang tua mereka. Berbagai tantangan dihadapi, termasuk saat sekolah dicurigai akan melakukan islamisasi terhadap calon siswa. Kecurigaan itu muncul karena baik guru maupun pengelola sekolah-semuanya muslim. Pun, banyak orang tua yang takut mengirimkan anaknya bersekolah ke luar pulau karena isu-isu SARA yang menjerumuskan. Namun Ai bersyukur, berkat kelihaian komunikasi para relawan, semua dapat dijelaskan dengan baik.
Setelah melewati berbagai tahapan, Ai Nurhidayat melakukan wawancara via telepon dengan calon siswa dan orangtuanya. Satu persatu ia dengar kisahnya. Hal itulah yang membuat dirinya dekat dan mengenal baik para siswa. Baru setelahnya mengerahkan pasukan relawan untuk mengatur keberangkatan tiap siswa.
Ada 40 siswa perwakilan dari tiap daerah yang diberangkatkan secara bertahap di Kelas Multikultural angkatan pertama. Ada Ismail Rumaru dari Maluku, Agusmin dari Simeuleu-Aceh, Eviliana Dona dari Sebatik-Kalimantan Utara, Yohana Ija Kolah dari Nusa Tenggara Timur, Nurafandi dari Ogan Komering Ulu Timur-Sumatra Selatan, dan puluhan siswa dari pelosok negeri lainnya. Mereka semua datang dengan cara yang beragam. Ada yang harus menyebrang samudera terlebih dahulu-baru bisa lanjut menggunakan pesawat, ada juga yang harus naik bis berhari-hari agar bisa menjangkau bandara di kotanya. Satu hal yang sama, di Jakarta, mereka semua dijemput dengan pelukan hangat dan senyuman selamat datang.

SENYUMAN INDONESIA – Siswa Kelas Multikultural angkatan pertama SMK Bakti Karya berfoto bersama di depan bangunan kelas sambil menampilkan senyum terbaiknya. (Foto: Istimewa)
Dicurigai sebagai Pastur
Tantangan demi tantangan mengenai sarana dan prasarana sekolah mulai terurai lewat bantuan publik. Namun nyatanya tantangan lain muncul saat penyelenggaraan program baru saja berjalan. Banyak kecurigaan di masyarakat yang membenturkan SMK Bakti Karya Parigi pada isu SARA.
“SMK Bakti Karya Parigi? Oh, sekolah yang kristenisasi itu ya? Di sebelah sana, Pak!” kata warga saat menunjukkan SMK Bakti Karya Parigi kepada seseorang yang menanyakan lokasi sekolah. Minimnya pengetahuan warga tentang gerakan crowdfunding, membuat sekolah ini dicurigai mendapatkan pendanaan dari gereja, hingga tuduhan melakukan kegiatan kristenisasi.
“Iya, dulu hampir di tiap toa itu ngomongin kita. Kita dianggap meresahkan masyarakat. Karena di sekolah ada orang Kristen, mereka menganggap kami mau bikin gereja. Sampai yang paling gak masuk akal, saya dianggap Pastur. Padahal dulu pendidikan saya di pesantren 6 tahun, lho,” ujar Ai sambil tersenyum.
Permasalahan ini cukup menguras tenaga. Pasalnya ada keterlibatan beberapa kelompok dari luar desa yang secara resmi mengajukan tuntutan penutupan sekolah, hingga berniat mengembalikan siswa yang telah diberangkatkan dari berbagai daerah, untuk kembali ke asalnya. Namun tentu saja semua kecurigaan dapat dibantah oleh Ai dan semua elemen sekolah. Mulai dari pendanaan lembaga yang secara terbuka ditampilkan sumbernya di website sekolah, hingga penyangkalan pendirian gereja-karena nyatanya lembaga murni hanya melakukan kegiatan pendidikan saja. Konflik pun ditutup dengan duduk bersama dan saling menyampaikan saran pendapat dengan kepala dingin.
Menenun Keragaman: dari Festival 28 Bahasa, hingga Kampung Nusantara
Saat pertama kali menautkan keragaman yang dibawa masing-masing siswa, Ai menemukan jeda. Para siswa seperti sedang mencerna keadaan, mencoba membuktikan stereotip-stereotip yang bergulir di pikirannya masing-masing.
“Benar tidak ya, orang timur itu galak?”
“Benar tidak ya.. bla bla bla dan bla?”
Mereka saling mengamati dalam diam, saling curiga. Termasuk Ismail Rumaru yang saat itu selalu mengeluh minta dipulangkan lagi ke kampung halamannya. Ai tak resah, karena ia tahu, mereka diam karena belum saling mengenal. Bukankah konflik seringnya terjadi karena tidak saling mengenal satu sama lain? Biar waktu dan pertemuan yang merekatkan mereka, yakin Ai dalam hati.
Benar saja, semakin sering berinteraksi, Ismail menjadi semakin mudah membuka diri pada perbedaan. Di Kelas Multikultural ia terus dikenalkan dengan suku, budaya, bahasa, agama, juga pribadi yang berbeda-beda.
“Oh, ternyata tidak seperti yang orang ceritakan ya,” gumam Ismail saat berdiskusi dengan Heribertus-orang yang membuatnya takut saat awal kedatangannya di SMK Bakti Karya Parigi. Ternyata Heribertus atau yang kerap disapa As ini adalah pribadi humoris yang menyenangkan. Meskipun beragama Kristen, tak jarang Heribertus mengingatkan Ismail untuk melakukan shalat ketika adzan mulai berkumandang. Mereka pun menjadi semakin dekat, bahkan sampai bisa mendulang prestasi bersama-sama.
Kini Ismail semakin paham, bahwa kecurigaan-kecurigaan sesungguhnya muncul karena minimnya pertemuan sehingga tidak saling mengenal. Kecurigaan itu pula yang menjadi akar rumput membaranya kesalahpahaman. Secara perlahan, ia pun mulai belajar mengubah pandangannya tentang konflik Ambon. Ismail yakin bahwa konflik itu pun bermula dari sebuah kesalahpahaman.

JADI SAHABAT – Dari kiri ke kanan: Agus asal Aceh, Ismail Rumaru asal Maluku, dan Heribertus asal Flores saat mendapatkan penghargaan kelulusan.
(Foto: Ismail Rumaru)
Lain cerita dengan masyarakat desa. Para siswa pertama kali dikenalkan kepada warga adalah saat acara Agustusan. Kala itu ragam ekspresi masyarakat dengan mudah tertangkap mata. Ada yang terheran-heran, hingga memicingkan matanya seperti sedang melakukan investigasi. Ada yang rela mengantri ingin berswafoto dengan salah satu siswa dari Tambrauw, Papua. Ada juga yang dengan ramah mulai mengajak siswa mengobrol ngalor ngidul. Interaksi pun mulai terbangun. Riuh obrolan dengan logat bahasa yang beragam kala itu terdengar hangat di lapangan desa.
Tak berhenti sampai di situ, Ai dan tim pun menyelenggarakan rentetan kegiatan besar yang mengusung tema keragaman Indonesia. Tujuannya sederhana, untuk lebih merekatkan lagi persaudaraan antara para siswa dan masyarakat desa. Tak disangka, ternyata banyak pula pihak dari luar desa yang turut merayakan keragaman Indonesia di sana. Ai pun berhak berbangga, lantaran semua kegiatan sukses “menghadirkan Indonesia” di kampung halamannya. Kegiatan itu di antaranya: Kelas Gembira, Malam Minggu Seru, Perayaan Hari Hutan, Perayaan Ultah Sabalad, Gelar Pamit, Festival 28 Bahasa, dll.
Festival 28 Bahasa sendiri adalah momen perayaan Bulan Bahasa dan Hari Sumpah Pemuda yang rutin dilakukan setahun sekali. Rangkaian acara berupa pawai kebudayaan, orasi 28 bahasa daerah, pameran kuliner khas Indonesia, ragam workshop, dan pementasan tari daerah, selalu sukses mendulang senyum para pengunjung. Kegiatan ini pun terselenggara berkat kerja sama dan dukungan penuh para warga. Termasuk rumah-rumah adat yang dibangun khusus pada Festival 28 Bahasa, pengerjaannya dilakukan secara gotong-royong oleh siswa dan warga. Replika rumah adat Honai salah satunya, semua bahu membahu membangunnya.

KAMI PAPUA – Siswa asal Papua berdiri di depan replika rumah adat Honai sambil memberi senyum kepada setiap pengunjung Festival 28 Bahasa. (Foto: Istimewa)

(Foto: Dok. Pribadi & Istimewa)
Melihat respons positif ini, muncullah inisiatif Ai Nurhidayat untuk mengintegrasikan masyarakat desa Cintakarya dengan program Kelas Multikultural SMK Bakti Karya Parigi lewat “Kampung Nusantara”. Mulai disahkan sejak Januari 2018, Kampung Nusantara pun menjadi tempat para relawan Kelas Multikultural maupun wisatawan, untuk berinteraksi dan mengikuti aktivitas warga. Pengunjung bisa melakukan gowes sepeda keliling kampung, beraktivitas di sawah bersama warga lokal, belajar bahasa daerah dengan siswa SMK Bakti Karya Parigi, hingga belajar membuat produk UMKM dengan pelaku usaha di sana.
Ada sekitar 35 kepala keluarga di Kampung Nusantara yang merelakan rumahnya dijadikan rumah tinggal bagi siapapun yang mau datang ke sana. Uniknya lagi, beberapa dinding rumah dilukis dengan gambar-gambar yang mencerminkan berbagai suku di Indonesia. Ada blok Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Papua dan pulau-pulau lainnya. Dengan mengusung semangat pendidikan keberagaman, produktif dalam berwirausaha, juga kelestarian lingkungan, Kampung Nusantara pun didaulat sebagai salah satu Kampung Berseri Astra.

NURANI – Warga Kampung Nusantara mendapat bantuan berupa paket sembako dalam program Nurani Astra Berbagi Untuk Negeri. (Foto: Istimewa)

GAPURA KAMPUNG NUSANTARA – Pawai Kebudayaan Festival 28 Bahasa saat melintasi gapura Kampung Nusantara. (Foto: Istimewa)

RUMAH YANG DILUKIS – Rumah Sumatra No.4 milik Pak Wawan di Kampung Nusantara. (Foto: Istimewa)
Kini, tak jarang warga Kampung Nusantara dan siswa SMK Bakti Karya Parigi melakukan kolaborasi-kolaborasi kebaikan. Seperti yang baru-baru ini dilakukan, yakni aksi pungut sampah di pantai, memasak bersama masakan khas daerah, juga mengajarkan anak-anak di kampung tentang pentingnya literasi, hingga teknik Ikat Celup Shibori. Jika dulu SMK Bakti Karya Parigi pernah dicurigai bahkan difitnah telah meresahkan masyarakat, maka bagi Ai Nurhidayat, terwujudnya Kampung Nusantara adalah jawaban yang membuktikan bahwa persepsi-persepsi itu tidaklah benar.
Mengusahakan Ketahanan Sandang, Pangan, Papan yang Mandiri
Meski pada awalnya sempat terseok-seok melengkapi sarana prasarana sekolah. Namun semua elemen SMK Bakti Karya Parigi selalu turun tangan memberikan yang terbaik dari apa yang mereka punya. Termasuk para guru yang berkenan untuk sementara ditunda pemenuhan hak-haknya. Meski dulu sempat digaji ala kadarnya, para guru tetap tulus membersamai siswa dalam setiap momen belajar.
Alumni Kelas Multikultural pun turut serta patungan membuat satu ruangan belajar. Alumni angkatan pertama satu kelas, alumni angkatan kedua pun patungan membangun satu kelas, begitu seterusnya. Mereka yang pernah merasakan manisnya mengenyam pendidikan, akan kembali untuk meneruskan kebaikan-kebaikan yang pernah mereka terima. Begitulah sekolah ini berjalan, menggerakan partisipasi publik.
Namun bukan berarti Ai Nurhidayat tidak mengupayakan kemandirian. Untuk mewujudkan ketahanan pangan secara mandiri, para siswa diajak untuk bercocok tanam di lahan hibah, menanam sayur mayur yang nantinya menjadi lauk untuk makan mereka sehari-hari. Begitu pun dengan nasi yang mereka makan, berasnya sebagian besar berasal dari hasil tanam dan panen secara mandiri. Para siswa diberikan kesempatan mengalami langsung bagaimana masyarakat Pangandaran melestarikan tradisi saat mencangkul sawah, menanam, hingga memanen padi.
“Selain komputer, aku baru pegang padi itu ya di SMK Bakti Karya Parigi,” kata Yafet, siswa asal Papua.

FESTIVAL TANDUR – Kolaborasi siswa SMK Bakti Karya Parigi dan masyarakat Kampung Nusantara dalam mewujudkan ketahanan pangan mandiri. (Foto: Istimewa)
Ketahanan sandang mandiri diwujudkan Ai Nurhidayat dalam produk kain Ikat Celup Shibori yang juga diproduksi oleh para siswa. Bekerja sama dengan para relawan, kain-kain putih polos disulap menjadi kain warna-warni cantik yang beragam. Teknik Ikat Celup Shibori ini dipilih untuk mempertahankan prinsip ramah lingkungan yang dipegang teguh SMK Bakti Karya Parigi. Sumber pewarna kainnya berasal dari bahan alami yang tidak berbahaya bagi alam, bahkan aman jika diminum oleh hewan ternak. Para siswa mendapatkan sumber pewarna dari hutan belakang sekolah, berupa kulit kayu mahoni, kunyit, kulit jengkol, kayu meranti, hingga sisa ketaman kayu untuk furnitur. Kain-kain tersebut selain digunakan untuk pakaian siswa, juga menjadi ladang wirausaha yang keuntungannya dipakai untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan. Kainnya dijual secara offline pada acara fashion show (21/03/2021) dan juga dipasarkan di toko online Instagram bernama Niti Sajati.
Begitu pun dengan ketahan papan mandiri. Beberapa saung di sekolah bahkan dibangun oleh para siswa, bekerja sama dengan warga setempat tentunya. “Paling tidak, mereka mengenal konsep papan untuk hidupnya kelak, agar tidak selalu merepotkan orang lain,” kata Ai Nurhidayat mantap.

MEREBUS BAHAN PEWARNA – Siswa sedang merebus bahan-bahan pewarna untuk kain ikat celup shibori. (Foto: Istimewa)

KAIN SHIBORI – Ragam kain Ikat Celup Shibori yang dijual dalam bentuk baju, outer, juga kulot. (Foto: Istimewa)

MODEL ASLI INDONESIA – Pemotretan para siswa untuk acara Pameran Ikat Celup Shibori. (Foto: Istimewa)

RUMAH REPLIKA – Repilika rumah adat Tongkonan Sulawesi Selatan yang dibuat oleh siswa dan warga. (Foto: Istimewa)
Mengundang Lebih Banyak Lagi Keterlibatan
“Apa yang lebih mahal dari imajinasi? Konsistensi pada gagasan,” ujar ayah dua anak ini tegas.
Kini SMK Bakti Karya Parigi telah memasuki tahun ke tujuh. Dari enam angkatan Kelas Multikultural, sekolah ini telah meluluskan 102 peserta didik untuk disebar menjadi pendamai di manapun ia menetap. Sekolah ini telah memberi tempat kepada anak-anak bangsa dari 25 Provinsi dan 40 suku di Indonesia untuk mengecap pendidikan dan memberi ruang untuk belajar bertoleransi. Saat ini pun ada 72 siswa aktif, 15 guru tetap, ratusan relawan, dan 3 pengurus yayasan yang turut meramaikan SMK Bakti Karya Parigi dalam ragam kebaikan.
Keberhasilan-keberhasilan kecil nan sederhana, seperti terbukanya ruang interaksi budaya yang semakin luas, juga adanya proses belajar yang melibatkan berbagai macam suku-adalah bensin yang membuat semangat Ai Nurhidayat terus menyala dan gigih melakukannya.
Atas segala gagasan mulia yang terus ia perjuangkan, juga ketekunan dalam mewujudkan pendidikan ramah keberagaman, Ai Nurhidayat diapresiasi banyak penghargaan bahkan sejak membentuk Komunitas Sabalad. Penghargaan yang diterima saat bersama Komunitas Sabalad diantaranya Gotrasawala Ethnoghrafic Film Festival, Juara 1 OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda) Kategori Lingkungan Hidup Tingkat Provinsi Jawa Barat, Juara 1 OKP Berbasis Komunitas Tingkat Nasional, Penghargaan Festival Film Tasik, Anugerah Literasi Priangan Timur, dll.
Sedangkan untuk penghargaan atas nama Ai Nurhidayat sendiri adalah Penerima Pemuda Pelopor Jawa Barat 2019, Penerima Apresiasi Satu Indonesia Award 2019 Bidang Pendidikan, dan Penerima Anugerah Frans Seda Award 2021.

APRESIASI PENUH ARTI – Malam puncak penghargaan Satu Indonesia Award 2019. (Foto: Astra)
Mendapatkan apresiasi Satu Indonesia Award adalah pengalaman paling berharga yang tak pernah Ai sangka-sangka. Diam-diam ada seseorang yang mendaftarkan Ai, dan menjadikannya satu di antara 8.654 peserta lainnya. Setelah piala kemenangan jatuh ke tangannya pada malam puncak penghargaan 4 Oktober 2019 di IdeaFest JCC, Ai langsung bergegas pulang kembali ke Pangandaran untuk memberikan piala itu kepada siswa SMK Bakti Karya Parigi. “Ini hasil kerja keras kalian semua” adalah kalimat yang Ai ucapkan kepada mereka.
Dukungan Astra hingga saat ini selalu hadir membersamai SMK Bakti Karya Parigi dan Kampung Nusantara untuk memperkenalkan kekayaan dan keberagaman budaya Indonesia lebih luas lagi. Termasuk saat Astra mensponsori acara Festival 28 Bahasa yang dihelat 30-31 Oktober 2021 lalu. Secara nyata Astra sudah turut menjembatani pertemuan ragam budaya dan mewujudkan lestarinya Indonesia.
Ai Nurhidayat tak pernah tinggi hati, ia selalu menjejakkan kakinya di bumi. Hal yang selalu ia katakan ketika diundang pada setiap kesempatan sharing seperti Bukatalks, TEDxJakarta Talks, Ashoka Changemaker Exchange Thailand, Food Sovereignty Movement di Kamboja, ASEAN Community Forum Singapore, Sarasehan Literasi– Kemendikbud, dan acara lainnya, ia selalu bilang “ini adalah gerakan publik, untuk pendidikan keragaman Indonesia yang lebih baik”.
INISIATOR MUDA – Ai Nurhidayat saat menjadi perwakilan Indonesia sebagai inisiator muda bidang pendidikan dalam Ashoka Changemaker Summit 2018 di Bangkok, Thailand. (Foto: Ai Nurhidayat)
Ai Nurhidayat si anak kampung, sampai saat ini masih tekun menenun keragaman untuk mewujudkan masyarakat multikultur yang damai. Ai tak ciut dicibir, mentalnya tak goyah dihantam ujian dari segala sisi. “Kami di sini mengandaikan lebih banyak pihak yang mengerti dan mau terlibat. Agar gagasan kolektif ini benar-benar dapat berdampak luas terutama untuk peradaban kita saat ini. Peradaban yang diisi dengan meriahnya kebudayaan Nusantara yang mewujud dalam setiap insan,” harapnya yang ia tulis dalam sebuah narasi.
Ai Nurhidayat berharap ada lebih banyak lagi tangan-tangan yang ikut menenun keragaman, membumikan toleransi, dan turut menyulam senyum Indonesia lewat ramahnya pendidikan keberagaman.
#TersenyumlahIndonesia
keren banget ini Kak Ai Nurhidayat. konsisten banget lho sampai sekarang.. beruntung juga bisa berjodoh sama Astra ya, jadi supportnya juga terus ada secara berkelanjutan.
Betul Mba, aku juga salut sama konsistensinya. Alhamdulillah Astra turut realisasikan gagasannya. Panjang umur kebaikan ❤️
Jarang banget ketika orang sudah sukses dan pintar kemudian kembali kenkampung halaman untuk membangun daerah yang dulu ia tinggali. Salut sih, karena cuma segelintir yang berpikir demikian untuk bermanfaat bagi banyak orang
Apalagi ketika banyak kesempatan di depan mata..tawaran pekerjaan mengantri. Namun ia tetap memilih membangun desanya.
Si keren nih sosok yg menginspirasi banget ya semoga banyak yg meniru tingkah lakunya yg baik…
masyaa alloh kerennya, aku jadi inget terakhir ke pangandaran jadinya, budaya Indonesia ini memang beragam dan sangat baik berada dikembangkan di tangan2 orang yang tepat
Waah nanti kalau ke Pangandaran lagi, mampir ke SMK Bakti Karya ya Mba ☺️
Aamiin, semoga banyak anak-anak muda yg terinspirasi dan mau peduli dengan pendidikan anak-anak bangsa ya mba.
keren banget ya Mas Ai Nurhidayat ini, sosok inspiratif yang bisa buat orang berdecak kagum dengan segala keuletan dan ketekunannya mencerdaskan anak-anak bangsa, karena di tangan generasi inilah nantinya daerahnya akan lebih maju apalagi sekolah ini menerima berbagai suku dan juga agama yang berbeda.
Iya betul Mba, kalau main ke sekolah Ai, kita bakal bener-bener berasa di Indonesia ❤️ Indonesia hadir di sana.
MashaAllah~
Penghargaan yang diperoleh tentu masih sangat jauh dengan usaha yang sudah dilakukan Ai Nurhidayat yaa…
Semoga Indonesia memiliki banyak Ai Nurhidayat lain yang mau dan mampu memberikan jiwa dan raganya tulus untuk kemajuan siswa di pelosok Indonesia.
Aamiin ya Allah, semoga lahir Ai Ai yang juga peduli pendidikan dan kampung halamannya ya Mba ❤️
Salut luar biasa pada Ai Nurhidayat dengan segala tekad dan kekuatannya. Segala tantangan tak dianggapnya dan terus melaju untuk kemajuan generasi muda.
Bukan lagi Mba, tantangan yang belum tentu (aku pribadi) bisa hadapi 🥲
Merinding saya baca cerita perjuangan Kak Ai…. Sempat tersenyum simpul juga ketika baca Beliau dituduh kristenisasi padahal lulusan pesantren…. 🙂 semoga pendidikan di sana berjalan lancar ya kak….
Ya kan Mba, memang untuk memulai sebuah kebaikan itu selalu adaaaa aja tantangannya ya. Ga cuman dicurigai kristenisasi, Ai juga semoat dicurigai islamisasi 🥲 pokonya ragam tantangan udah pernah dihadapi Mba
Masya Alloh, aku suka banget cengan cerita2 inspiratif seperti ceritanya Ai Nurhidayat. Masih muda tapi banyak potensinya.
Jiwa sosianya tinggi bangettt.
Mentalnya itu ya Mba… semoga beliau dan orang-orang baik yang ada di sana selalu Allah berikan kesehatan.. aamiin
cerita yang menginspirasi lewat kisah Ai Nurhidayat. Menenun keberagaman perlu disadari oleh setiap individu di Indonesia. Thanks for sharing
Aamiin, terima kasih banyak Mba ☺️
Betul juga, ya. Konsistensi pada gagasan itu beraaat. Lebih berat dari berimajinasi. Karena bisa banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Salut dengan Ai Nurhidayat yang terus konsisten dengan aktivitasnya.
Iya Mba, berat sekali. Makanya mungkin Ai Nurhidayat ini bisa dibilang orang terpilih, karena mentalnya kuat sekali. Semoga banyak yang turut mendukung dan mempertahankan realisasi gagasannya ya Mba.
Salut sama mas Ai. Kayaknya 10.001 deh yang kayak beliau, masih muda mau mendedikasikan waktu, tenaga, dan uang untuk membantu sesama
Iya Mba, padahal dia bisa memilih untuk tidak pulang membangun kampung halamannya loh. MasyaAllah..salut saya juga
MasyaAllah, keren mas Ai, Dari anak kampung mendapat penghargaan SIA 2019 kemudian mendunia itu bener-bener di luar ekspektasi yaa, konsisten dan kerjakeras insyaALlah akan menuai apa yang terlah ditabur. Usaha tidak akan mengkhianati hasil. selamat ya kak Ai. Makasih mbak telah menuliskan kisah suksesnya, semoga banyak yang terinspirasi karenanya.
Aamiin Mba, kalau hanya sekedar gagasan dan imajinasi mungkin siapa saja bisa melakukannya ya mba.. merealisasikannya yang memang sulit, tetapi bisa ia lakukan. Bersyukur banyak sekali pihak yang mengapresiasi, termasuk Astra.
sekolah multikultural wow … keren banget Mas Ai Nur Hidayat ini. Btw jadi inget dulu di sekolah pun siswa temen di sekolah saya beragam dari daerah sunda aja, dan jawa. Ternyata baru tau pas udah kuliah lebih beragam lagi dapatin temen, dan dunia kerja apalagi. Seru aja kayaknya bertemu dengan beragam suku di Indonesia. Jadi kaya dengan pengalaman juga.
Nah, iya mba sama hehe. aku pun begitu, baru mengenal keragaman itu pas kuliah. SD SMP SMA ya ketemunya dia lagi dia lagi…orang sunda juga. Kalau bertemu keragaman budaya, bahasa, agama, suku Indonesia itu rasanya makin sayang sama Indonesia ya Mba
Konflik saudara di Indonesia Timur memang meninggalkan bekas yang mendalam buat para saksi hidup. Dulu waktu saya di Papua juga mendengar cerita serupa tentang bagaimana orang2 disana jadi menaruh curiga sama orang yang berbeda agama akibat konflik. Jadi memang dibutuhkan usaha lebih kuat untuk mengembalikan keadaan seperti semula, untuk menyatukan kembali masyarakat disana dalam keberagaman. Salut banget sama narasumber yang berhasil melakukan itu. Ide sekolah multikultural benar-benar out of the box! Btw goodluck untuk lombanya Mbak Indah 🙏🏻🥰
Betul Mba, saya yang mendengar cerita-cerita dari siswa di SMK Bakti karya Parigi pun ikut merinding. Bagaimana mereka terus berselimut dalam traumatik yang berkepanjangan. Ga mudah. Bersyukur mengenal Kak Ai ini, karena dia menjadi satu dari sekian anak muda Indonesia yang turut merealisasikan gagasan persatuan Indonesia. Mengumpulkan ragam manusia dengan berbagai latar belakangnya, untuk saling terkoneksi, mengenal satu sama lain. Terima kasih Mba Rizka sudah mampir ^^
Tujuan dan kecurigaan memang harus jelas di awalnya sehingga tidak ada tuduhan atau prasangka ya… Adanya kecurigaan ya karena awalnya kurang komunikasi atau kurang terbuka.Kalau untuk kebaikan bersama siapa sih yang mau nolak ya 😀 Keren nih….
Betul sekali mba ^^ konflik memang biasanya dimulai dari ketidaktahuan, kesalahfahaman. Kalau main ke SMK Bakti Karya Parigi itu hati rasanya nyess banget karena melihat harmonisasi dalam perbedaan.
Kak Ai super keren! Beliau yang memulai lalu mengajak alumni untuk meneruskan perjalanannya di Kelas Multikultural. Penghargaan SIA 2019 memang pantas beliau dapatkan. Teruslah menginspirasi, Kak.
Keren banget ga udah-udah emang ya Kak.. semoga semakin banyak pihak yang turut mendukung dan berkolaborasi dengannya, mengikuti jejak Astra.
ternyata negeri ini masih memiliki sosok-sosok anak muda hebat yang peduli sama rakyat dan kemajuan bangsa yaaa, patut dicontoh nih
One in million ga sih mba? hehe semoga banyak orang yang tergugah dan mau melakukan hal yang sama seperti Ai, bahkan lebih baik lagi. aamiin
Terharu baca kisah Ai Nurhidayat yang menenun keberagaman,semoga semakin banyak sekolah yang melakukan keberagaman seperti ini sehingga setiap suku yang berbeda budaya dan agama bisa saling interaksi dan penuh kepercayaan
Aamiin sekolah yang juga melunturkan kesenjangan ya Mba. ^^ aamiin
Aku termasuk korban konflik Ambon 1999 itu dan kemudian mengungsi ke berbagai tempat selama kerusuhan di ambon. Ini memang tak mudah. Salut dengan Ai yang bangkit berjuang serta berkarya seperti saat ini
Semoga bisa berjumpa kelak
MasyaAllah, im sorry to hear that Mba, pasti tidak mudah untuk kembali pulih.. Namun seperti Ismail pun akhirnya bisa kembali percaya dan menyimpan koper traumatisnya di SMK Bakti Karya Parigi, salut. Nanti main-main ke Pangandaran ya Mba biar ketemu Ai ^^
Kiprah seorang Ai Nurhidayat ini sangat menginspirasi. sangat pantas sekali mendapatkan penghargaan dan semoga semakin banyak orang yang bisa mencontoh langkahnya dan memiliki inovasi pengajaran untuk wilayah Indonesia lainnya yang membutuhkan relawan di bidang pendidikan.
Amiin, semoga banyak yang mereplikasi gagasannya dan direalisasikan di daerah-daerah yang benar-benar darurat pendidikan…
makasi buat ceritanya Mba. salut banget sama orang yang mau meluangkan waktu, energi, dan materi untuk menenun keberagaman. karena memang hal ini layak banget diperjuangkan..
Layak dan harus terus diperjuangkan ya Mba. Semoga Ai dan seluruh elemen yang mendukungnya terus semangat memperjuangkan kebaikan ini. aamiin
MasyaAllah termasuk pejuang bangsa juga niih mba Ai, sangat menginspirasi dan juga membuat berkaca pada diri apa yang harus diberikan untuk diri sendriri baru orang lain.
Betul Mba, Semoga setiap dari kita pun bisa mencari tahu apa yang dapat kita lakukan untuk membantu perjuangan Ai ini…