Hujan rintik-rintik menyambut kedatanganku saat tiba di Pangandaran. Meski berjam-jam menghadapi kemacetan, anehnya, perjalanan 13 jam Jakarta-Pangandaran sama sekali tidak membuatku lelah. Aku malah terpesona pada syahdunya suasana pagi di sana. Damai sekali.

Dari Terminal Pangandaran, aku memesan ojek online menuju lokasi Festival 28 Bahasa. 30 menit yang menyenangkan buatku, karena sepanjang perjalanan paru-paruku penuh dengan oksigen, mataku pun puas melihat rindangnya pepohonan hijau yang segar. Senyumku lebar, tenagaku terisi penuh.

Bertemu Setelah 3 tahun Menunda

Suasana berubah menjadi melankolis saat aku bertemu dengan Bu Militer, Pak Dayat, para siswa, juga guru-guru SMK Bakti Karya Parigi. Terharu, karena bisa memeluk mereka langsung setelah sebelumnya hanya mendengar kisah heroik mereka menghidupkan SMK Bakti Karya Parigi. Mereka yang selama ini aku tulis kisahnya di Ragam maupun di Instagram, akhirnya bisa kuajak tertawa bersama. Air mata pun semakin tak terbendung saat memasuki gate Festival 28 Bahasa dengan nuansa merah putih. Masih tidak menyangka dengan keberadaanku di tengah anak-anak semua bangsa. Juga belum percaya bahwa akhirnya tahun ini aku bisa datang di Festival 28 Bahasa 2022 setelah beberapa kali melewatkannya.

Walaupun baru pertama kali bertemu, aku yang baru 3 tahun menjadi relawan ini tidak seperti orang asing di sana. Semua menyapaku dengan ramah. Guru-guru, para siswa, relawan, bahkan warga Kampung Nusantara, semua menampilkan senyum terbaik mereka kepada semua pengunjung yang hadir.

Meski terlewat satu hari acara pada tanggal 28 Oktober, yakni workshop Shibori, workshop UMKM Go Digital, Workshop Manual Brewing, juga workshop kebudayaan, tetapi aku menikmati banyak ragam acara pada hari kedua. 

Festival 28 Bahasa

Hari kedua Festival 28 Bahasa dimulai dengan Pawai Kebudayaan yang barisannya dikepalai barongsai. Aku ikut dalam barisan pawai. Di depanku ada para siswa SMK Bakti Karya Parigi yang menggunakan baju adat asal daerah mereka, sementara di belakangku berbaris rapi para pengunjung festival mulai dari anak kecil, hingga orang dewasa. Sambil saling memegang punggung orang di depan, kami ramai-ramai menyanyikan lagu kaulinan khas Sunda “Oray-orayan Luar-léor ka sawah Entong ka sawah Paréna keur sedeung beukah. Oray-orayan Luar-léor mapay kebon Entong ka kebon Di kebon loba nu ngangon”. Semua bernyanyi dalam barisan, melewati rumah-rumah Kampung Nusantara yang dilukis khas Budaya Indonesia. 

Pawai Budaya berujung di sebuah lapangan sekitar rumah warga. Para Pengunjung dibuat melingkar untuk menyaksikan atraksi barongsai yang memukau. Semua riuh bertepuk tangan saat pertunjukan berakhir. Wow, acara ini benar-benar memayungi keberagaman. 

Namun tak hanya sampai di situ. Ai Nurhidayat, tiba-tiba bediri di atas tumpukan batu dan berteriak mengajak semua pengunjung untuk mengumandangkan ikrar Sumpah Pemuda bersama-sama. Lagi-lagi air mataku jatuh. Nasionalisme dibakar sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama.

Pukul 10.00 panggung budaya mulai hidup dengan berbagai orasi, dongeng, dan puisi. Aku yang sedang menjajal kuliner nusantara, mau tak mau berlari ke arah panggung untuk mendengarkan bahasa daerah yang jujur saja baru kudengar langsung saat itu. Ternyata banyak sekali bahasa daerah yang belum aku tahu. Ada Bahasa Yali, Bahasa Mee, Bahasa Lamaholot, Bahasa Moi, Bahasa Hatuhaha, dan ragam bahasa lainnya. Menariknya, para siswa selalu menyisipkan pesan maupun pengetahuan baru dalam setiap orasi maupun dongengnya.

Tak hanya orasi, dongeng, maupun nyanyian berbahasa daerah. Ragam tarian dari berbagai penjuru Indonesia pun ditampilkan. Aku tak hentinya berdecak kagum melihat raya nya Indonesia, sekaligus bangga melihat talenta menawan yang ditampilkan para siswa. Semua siswa diberi ruang untuk mengeksplor bakatnya, menunjukan apa yang mereka kuasai. Yang jago pidato silakan berorasi, yang jago pencak silat pun diberi panggung. 

Kuliner Nusantara

Pengunjung dari berbagai kota bisa menginap di Rumah Warga Kampung Nusantara. Untuk makan pun tak perlu khawatir, karena selama festival berlangsung, para siswa pun menyiapkan stand kuliner Nusantara perwakilan pulau pulau besar Indonesia. Dengan harga yang terjangkau, perutku kenyang melahap Coto Makasar, Nasi Padang, rujak, dan yang paling unik adalah ayam bakar batu. Makanan khas Papua ini menggunakan teknik yang unik ketika memasak ayamnya. Batu-batu sengaja dibakar sampai panas membara, kemudian dimasukanlah ayam yang sudah dibumbui dalam balutan daun pisang. Usaha ini membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam sampai ayamnya matang sempurna. Enaaak sekali. 

Pulang

Perut kenyang, hati senang. Walaupun acara berlanjut hingga malam hari, sayang sekali aku harus pulang kembali ke Jakarta sore itu. Terima kasih SMK Bakti Karya Parigi, dan segenap tim yang sudah bekerja keras dibalik kesuksesan acara ini. Terima kasih sudah menghelat acara “Indonesia Banget” yang sangat bermakna. 

Indah Riadiani

Relawan SMK Bakti Karya Parigi