Namanya Maulana Suri, putra daerah asal Lhokseumawe, Aceh. Sebagai alumni siswa Kelas Multikultural SMK Bakti Karya Parigi, ia memiliki cerita tersendiri yang tak kalah seru dari cerita alumni lainnya.
Maulana sudah kenyang disebut “anak nakal” semasa remaja. Dulu, dalam satu semester, ia dua kali pindah sekolah akibat kenakalan yang diperbuatnya. Sampai akhirnya ia menganggur selama dua tahun pasca kelulusan SMP. Saat itu, untuk mengisi waktu luang, Maulana berjualan kosmetik kaki lima di pinggir jalan.
Karena kosmetik diminati perempuan, kebanyakan yang membeli dagangannya adalah para siswi yang menggunakan seragam SMA. Entah kenapa saat itu motivasi untuk sekolah lagi tiba-tiba tumbuh dalam dirinya. Tergerak ingin kembali menggunakan seragam sekolah seperti para pembeli dagangannya. Rencana melanjutkan sekolah ke jenjang SMA pun diungkapkan kepada orang tuanya, tetapi tidak ingin di Aceh karena ia dan adiknya hanya beda satu tahun yang mana nantinya mereka akan seangkatan.
Saat itu kakaknya, Amalia Suri adalah relawan di SMK Bakti Karya Parigi di Pangandaran. Amel menjelaskan panjang lebar tentang SMK Bakti Karya, salah satunya cerita tentang siswa-siswi SBK yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Papua. Maulana sangat tertarik dan mantap untuk belajar dengan sungguh-sungguh di SMK Bakti Karya.
Bagi Maul, panggilan akrabnya, SMK Bakti Karya sangat menarik walaupun bangunannya tak sebesar sekolah-sekolah yang pernah ia kunjungi. Sekolah ini membuka tangan seluas-luasnya untuk memeluk perbedaan, entah itu agama, budaya, maupun bahasa. Kegiatan belajar mengajar sekolahnya pun tak melulu di dalam kelas, malah lebih banyak eksplorasi dan belajar banyak hal dari alam. Ditambah, saat wawancara membuat tekadnya semakin bulat karena terkagum dengan tutur bahasa pewawancara yang rapi, teratur, dan sangat menyenangkan. Seperti mengobrol dengan teman.
“Wah, kayanya ini bukan sekolah sembarangan,” pikirnya setelah diwawancarai oleh Pak Ai Nurhidayat, ketua Yayasan Darma Bakti Karya.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, Maul terbang menuju Jakarta seorang diri dan menjadi siswa pertama yang tiba di Jakarta. Dua hari setelahnya, ia ikut menjemput siswa lainnya di bandara bersama para relawan. Momen itulah yang menjadi awal perkenalannya dengan siswa lain dari berbagai daerah.
Di hadapan Maul muncul satu orang Papua tinggi besar, yang saat bersalaman tangannya dua kali lipat lebih besar daripada tangannya Maul. Awalnya Maul mengira dia adalah wali murid yang mengantar, ternyata dia adalah siswa yang tiga tahun kedepan akan satu sekolah dengannya, Yafet Logo namanya. Yafet adalah siswa pertama yang berkenalan dengan Maul, badannya saja yang kekar dan besar, seperti kasar. Namun ternyata hatinya baik dan orangnya sangat ramah.
“Di SMK Bakti Karya Parigi, setiap hari kami bangun pagi sekali untuk membantu ibu dan bapak asrama mempersiapkan makan seluruh siswa sesuai jadwal piket. Sementara siswa laki-laki yang piket bertugas menanak nasi, siswa perempuan menyiapkan lauk dan sayur,” jelas Maulana.
“Sekolah ini tidak kaku, belajar bisa di mana saja, tak harus selalu di dalam kelas.. Ditambah adanya Kelas Profesi, kelas di mana para profesional (IT programmer, desainer batik, petani, dosen, dll) yang membagikan ilmunya kepada kami, membuat proses belajar menjadi semakin menarik. Banyak sekali pelajaran hidup yang aku dapatkan selama di SMK Bakti Karya Parigi. Bukan sekadar pelajaran yang ditransfer oleh para guru maupun para profesional, tetapi juga ilmu dan pengalaman baru yang didapat dari teman-teman sekolah. Kami selalu bertukar cerita tentang keunikan-keunikan di daerah masing-masing, tentang budaya, juga tentang bahasa yang kami gunakan dalam keseharian,” lanjut Maul.
Di SMK Bakti karya Maul mempelajari Bahasa Serawai (Bengkulu), Papua, dan Sunda dari teman-temannya. Walaupun belum bisa dibilang mahir, tetapi ia paham beberapa.
Persahabatan Maul dan Yafet
Tiga tahun hidup bersama dengan teman-teman yang berbeda latar belakang budaya adalah pengalaman yang tak terkira bagi Maul. Teman-teman sudah seperti saudara, selalu saling menjaga, dan saling menyayangi layaknya keluarga. Apapun konflik yang dihadapi, selalu diselesaikan dengan kepala dingin. Persahabatan maul dan teman-temannya begitu erat, sehingga bisa memahami dan lebih toleran terhadap sesama.
“Ada satu kenangan lucu bersama Yafet dan teman-teman lainnya yang tak mungkin terlupakan. Dulu, saat aku menjadi ketua asrama, ditetapkanlah aturan tidur paling lambat pukul 22.00 WIB. Semua anak menurut untuk tidur tepat waktu, sehingga pukul 22.00 WIB semua lampu kamar dimatikan. Aku dan Yafet berinisiatif menggelar kasur di ruang tengah dan berniat untuk tidur di sana. Bukannya tidur, kami malah seru mengobrol sampai tertawa terpingkal-pingkal. Teman-teman lain yang sudah pulas tertidur, satu persatu ikut bergabung menyimak obrolan kami, sampai akhirnya tak ada lagi siswa yang tidur di kamar. Semua ikut tertawa mendengar pecahnya cerita Yafet dan aku. Bagiku, Yafet adalah teman yang paling lucu dan tulus. Ia selalu melakukan apapun dengan ikhlas, termasuk saat membantu teman-teman yang lain.”
Hari terberat Itu Tiba
Semua bergegas memakai baju batik dan kebayanya masing-masing. Ada rasa lega ketika tahu seluruh siswa mendapatkan sertifikat kelulusan. Namun, juga bercampur dengan rasa sedih karena momen perpisahan sudah di depan mata. Artinya Maulana dan Yafet pun harus berpisah.
“Berat sekali melangkah sambil menyembunyikan kesedihan. Komitmen untuk tidak menangis di seremonial perpisahan 30 siswa Kelas Multikultural Angkatan ke-4 pun akhirnya runtuh saat Yafet tiba-tiba saja datang dan memeluk.”
“Gimana nanti kalau kita gak ketemu lagi?” ucap Yafet sambil menangis.
“Akhirnya tangisku pun ikut pecah. Yafet, siswa pertama yang pertama kali berjabat tangan denganku di Bandara, yang selalu menghibur dengan kepolosannya selama tiga tahun, kini harus berpisah dan pulang ke kampung halamannya, Papua. Begitu pun dengan teman-teman lainnya,” kata Maul sedih.
“Tak hanya berat berpisah dengan teman-teman, guru, juga bapak-ibu asrama. Kami pun berat berpisah dengan warga Kampung Nusantara yang luar biasa baiknya memperlakukan kami. Dalam acara Gelar Pamit, tak sedikit warga yang juga turut menangis, memeluk kami seperti berat melepas kami untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Kini kami sedang berjuang mewujudkan mimpi. Terutama aku, saat ini sedang belajar bahasa pemograman secara otodidak. Semoga kedepan, aku bisa bekerja sesuai passionku. Terima kasih SMK Bakti karya Parigi, telah membentukku menjadi aku hari ini,” tutup Maul.