Lantun
tiga derau
Sebuah Review
Suatu ketika, di angkot ada seorang ibu dan anak sedang makan rambutan dan mereka membuang kulit rambutan di lantai angkot.
Dengan spontan Fahri bilang ke orang tersebut, “Hei … put it in rubish bin!”
Begitulah potongan kisah masa kecil Fahri yang mungkin saja saat itu dinilai “kurang sopan” oleh sebagian orang. Padahal jika kita mengetahui kondisi Fahri yang sesungguhnya, kita akan dengan mudah memakluminya. Lagipula tak ada yang salah dengan menyuruh orang membuang sampah pada tempatnya, bukan?
Memang benar kata orang bijak, kita tidak akan pernah benar-benar berempati pada seseorang, sebelum memakai sepatunya, melihat dari sudut pandangnya, juga merasakan bagaimana rasanya berdiri di posisinya. Buku ini dilahirkan untuk itu. Untuk membantu kita semua agar mampu berempati dan melihat dari sudut pandang lain tentang Asperger Syndrome. Bagaimana seorang ibu membesarkan anak laki-lakinya yang divonis mengidap Asperger Sindrom hingga ia bisa menjadi seorang penghafal Qur’an, bahkan menuai berbagai prestasi di sekolahnya.
Semua tertuang dengan begitu syahdu dalam buku “Lantun Tiga Derau” ini.

Buku ini adalah buah kolaborasi apik antara ibu dan anak, Ibu Prima Naomi dan putranya yang bernama Rahmat Fahri Naim, atau Fahri. Secara personal, saya mengenal sosok Ibu Prima sebagai seorang akademisi juga dosen di almamater kampus kebanggan saya, Paramadina. Meskipun belum pernah secara langsung bertemu di kelas perkuliahan, tetapi saya mengenalnya sebagai sosok yang periang dan sangat ramah. Lewat buku ini, saya menyadari bahwa di balik pribadinya yang selalu penuh senyum dan tawa, ternyata ada kisah penuh perjuangan dan untaian doa yang tak pernah putus untuk anak sulungnya-yang merupakan penyandang Asperger Syndrom atau AS. Sungguh sosok ibu hebat yang sangat menginspirasi.
Namun terlepas dari itu semua, sungguh saya menaruh hati pada buku ini. Dibuat penasaran dengan arti dari judulnya, buku ini juga membahas Sindrom Asperger secara ilmiah, merujuk sumber-sumber terpercaya.Kalau bahasa viralnya sekarang … “ini bukunya eye opening banget”. Saat membacanya, saya berkali-kali dibuat tertunduk penuh haru, juga berkali-kali terlarut dalam senyum kebanggaan. Membuat pembaca paham tentang simtom sebuah kecenderungan Autisme, hingga bagaimana kita sebagai pembaca mafhum harus berlaku seperti apa jika berhadapan langsung dengan penyandang disabilitas majemuk lainnya, khususnya Asperger.
Setiap lembar kertasnya melantunkan kisah demi kisah yang tidak bisa ditebak. Meskipun ini kisah nyata, tetapi saya merasa sedang membaca novel karena bahasanya mengalir sangat ringan. Di bagian pertama, Ibu Prima berbagi kisah lewat tulisannya dengan dilengkapi catatan Fahri di setiap penghujung halamannya. Sedangkan di bagian kedua, Fahri melenggang berkisah tentang apa yang ia rasakan dimulai saat ia memasuki jenjang sekolah menengah pertama, bagaimana ia mulai jatuh cinta, hingga perjuangannya untuk lolos di berbagai universitas.
Lembar awal dimulai dengan lantunan kisah Bu Prima yang menceritakan sosok Fahri di masa kecil. Pembaca akan dipersilakan untuk ikut larut dalam perjuangan keluarga di masa-masa yang tidak mudah. Pertanyaan-pertanyaan seperti “kenapa anak sulungku belum bisa bicara, sedangkan adiknya sudah bicara” mulai menggelayuti pikiran penulis. Selain itu, babak awal buku ini pun banyak menampilkan kejutan-kejutan paragraf yang membuat haru biru, mulai dari adegan pengucapan kalimat “Ibu…aku..mau…susu” yang menjadi kalimat pertama yang diucapkan Fahri, hingga adegan memboyong dua bayi menuju pesawat untuk penerbangan ke Australia. Adegan menggendong dua bayi sambil menggerek koper itu sempat membuat saya menahan nafas. Saat membacanya, mata saya berkaca-kaca, rasanya ingin sekali memeluk sosok ibu hebat itu.
Tak bisa dimungkiri, pengalaman keluarga penulis di Australia pun sangat menarik perhatian. Mulai dari bagaimana serunya kegiatan belajar di sana, pengalaman bertemu dengan buku-buku yang beraneka ragam, hingga bagaimana Fahri mulai menunjukan ketertarikannya pada sebuah benda. Pembaca pun akan dengan mudah mengimajinasikannya karena setiap bab dilengkapi dengan foto-foto.

Catatan fahri
Bicara tentang keunikan Fahri, bahasan ini banyak dikisahkan ketika Fahri dan keluarga mulai kembali ke Indonesia. Kepekaan seorang ibu yang menyadari bahwa anaknya berbeda dari yang lain semakin meruncing tatkala anjuran berbagai psikolog mulai diberikan. Fahri harus bersekolah di sekolah A atau di sekolah B dengan berbagai catatan, sebelum diketahui apa diagnosisnya. Di bagian itu saya belajar, bahwa memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih tempatnya menuntut ilmu adalah hal yang sangat penting, terlepas dari kondisi apapun yang dialami seorang anak. Tak jauh berbeda jika pembaca adalah seorang ibu atau keluarga dengan anak penyandang disabilitas, pemilihan sekolah yang tepat tentu saja sangat membutuhkan keterlibatan anak dalam memilih, persis seperti yang dilakukan oleh Ibu Prima.
“Aku beruntung karena hidup dengan orang tua yang mau mendengarkan kata-kata anaknya,” adalah catatan Fahri yang ditulis di halaman 63.
Ternyata mendengarkan pilihan anak adalah berharga. Kadang sebagai orang tua lupa bahwa diri ini tidak selalu benar, maka apa yang dilakukan oleh keluarga Fahri sangat bisa kita tiru dan terapkan dalam pola asuh kita. Kata-kata Bu Prima seperti anak panah yang melesat tepat ke titik sasaran. Bagaimana ia selalu menghargai setiap keputusan anaknya dan tidak menganggap remeh apapun yang menjadi pendapat Fahri. Hal itu dilakukan Bu Prima bahkan jauh sebelum Fahri didiagnosis sebagai seorang Asperger, yang kondisinya dijelaskan secara detail di buku ini. Selain itu, lewat buku ini kita dapat memahami alasan mengapa seorang Asperger Syndrom merespons A ketika dimarahi misalnya, atau merespons B ketika ia didekati lawan jenisnya.
Buku ini pun mengungkap bagaimana seorang penyandang AS mulai merasakan jatuh cinta di usia remajanya. Dari sudut pandang Fahri kita menjadi tahu mengapa penyandang Aspenger merasa terganggu saat jatuh cinta. Cerita Fahri yang sulit menangkap sinyal cinta seorang gadis dalam buku ini membuat saya terhanyut. Kondisi-kondisi saat Fahri mengobrol di dalam mobil dengan gadis yang memujanya bisa tergambar dengan jelas dalam imajinasi saya. Perempuan mana yang tidak terkesan pada Fahri si anak alim. Setiap jam istirahat pertama ia bersimpuh di mushala untuk melakukan shalat duha. Duh, Fahri cool banget deh.
Petualangan-petualangan Fahri juga melibatkan saya untuk terus membuka halaman demi halaman buku ini, bagaimana ia menghabiskan waktu di berbagai tempat untuk menghafal Al-Qur’an, untuk mengasah kemampuan Bahasa Inggrisnya juga petualangan-petualangan lain yang kebanyakan orang akan merasa sangsi bahwa penyandang disabilitas majemuk bisa melakukannya. Begitu pun dengan rentetan prestasi yang Fahri dapatkan. Mulai dari memenangkan lomba story telling, lomba puisi, hapalan Qur’an, hingga berhasil masuk dalam seleksi pertukaran pelajar ke Malaysia. Oya, Fahri pun kini sudah lulus S1 Psikologi Universitas Brawijaya lho, MasyaAllah Tabarakallah.
Jika dibedah kembali isi bukunya maka akan tersisir benang-benang utama mengapa pola asuh yang diterapkan oleh Ibu Prima ini berhasil mengiringi keberhasilan Fahri. Tak hanya di sisi Ibu Prima, jika membacanya dengan seksama, maka akan terlihat betapa keluarga, lembaga pendidikan, dan lingkungan rumah sangat berpengaruh dalam upaya mendidik seorang anak penyandang disabilitas.

Dapatkan Segera Bukunya!
WA Fahri di 087887017043
Harga Rp85.000,00 (diluar ongkir)

Hai kak Indah, salam kenal dari Rosa, saya ibu dari seorang remaja autis.
Saya sedang mencari buku ini, sudah kontak dg Fahri di nomor tsb, tapi bukunya sudah habis.
Kira-kira, kak Indah masih punya kah buku ini, dan apakah masih dipakai?
Jika sudah tidak dipakai, dan jika berkenan menjualnya sebagai buku second, saya berminat.
Terima kasih sebelumnya,
Rosa
Halo Bu Rosa, saya bisa meminjamkannya bu ^^ boleh kontak saya di indahriadiani@gmail.com ya buu