BIJAK BERMEDIA:

Saatnya Merdeka

dari Berita Palsu

 

“Jadilah orang yang tercerahkan, yang berani melepaskan belenggunya masing-masing dan membantu orang lain keluar dari penjara struktur yang tidak bisa lepas dari dirinya. Itulah literasi,” Fahd Pahdepie, CEO Inilah.com

Hoaks yang Membuat Hoeks

Kepala saya pernah benar-benar mendidih ketika ibu saya meneruskan sebuah tangkapan layar yang ia dapatkan dari group Whatsapp-nya. Isinya menyatakan bahwa siapa pun yang berobat ke Rumah Sakit pasti akan dicovidkan dan langsung disuntik mati. Meski saat itu ibu saya menunjukan gejala Covid yang kronis, ia tetap menolak untuk pergi ke Rumah Sakit. Dampaknya apa? saturasi oksigen ibu merosot tajam. Ia kesulitan bernafas dan tubuhnya sangat lemas. Hoaks berhasil mempengaruhi ibu. Bujuk rayu yang saya lakukan via telepon sama sekali tidak digubrisnya. Saya pun terpaksa meluncur dari Bogor menuju Subang untuk membawa ibu ke Rumah Sakit. Benar saja, ibu positif Covid varian Delta, sehingga harus diisolasi di ruang perawatan khusus yang dilengkapi dengan tabung oksigen.

Alhamdulillah saat itu pihak Rumah Sakit menangani ibu dengan sangat baik. Ibu pun diperbolehkan pulang pada hari ke 14 dalam kondisi sehat walafiat. Sehingga segala hoaks atau berita palsu yang beredar bisa ibu tepis.

Hoaks sungguh membuat hoeks. Dari kejadian ini, saya menyaksikan sendiri bahwa berita palsu pengaruhnya bekerja di tataran psyche individu. Penyebarannya bekerja secara masif di tataran sosial, juga tidak melandaskan diri pada fakta, layaknya sebuah dongeng dan cerita urban. Salah-salah dipercaya, bahayanya bisa saja merenggut nyawa manusia. 

Sumber: Kominfo

Era Brave New World of Fake News

Apa yang diramalkan Aldous Huxley dalam novel distopia yang berjudul Brave New World, kini menjadi kenyataan. Meski diterbitkan 90 tahun yang lalu, imajinasinya tentang perkembangan internet dan budaya yang terbangun setelahnya, nyata terasa. Masyarakat kini dihadapkan pada teknologi digital yang semakin canggih dan pesat. Dampaknya sangatlah masif bagi dunia, termasuk semakin dimudahkannya manusia dalam melakukan banyak hal. Mulai dari kemudahan berkomunikasi, berbelanja anti ruwet, transaksi tanpa dompet, belajar sambil rebahan, termasuk kemudahan menjangkau akses informasi.

Jika dulu saya sangat kebingungan dengan soal teka-teki silang di sebuah koran, “sebutan untuk pulau yang berbentuk cincin”, hingga saat itu harus mencari jawabannya ke perpustakaan. Maka kini, hanya dengan men-submit soal tersebut di mesin pencari, jawaban “atol” bisa ditemukan dalam waktu sepersekian detik saja. Sungguh kehidupan yang serba cepat dan instan.

Namun, perlu disadari bahwa keberadaan internet juga sepaket dengan sisi baik dan sisi buruknya. Bermodalkan gawai pintar, setiap dari kita bisa menjadi penyaji berita. Siapa saja bisa meliput, menulis, dan menyebarkan berita di media sosialnya masing-masing (Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter). Gempuran informasi di ruang publik ini menjadi salah satu keresahan yang kadang menyulitkan publik dalam membedakan informasi yang relevan dan tidak relevan bagi dirinya. Lebih parah lagi jika kemudian publik cenderung tidak bisa membedakan mana informasi yang faktual dan mana berita palsu belaka.

Masih sampai saat ini, setiap harinya berita palsu membanjiri berbagai konteks persebaran informasi, dari urusan publik hingga privasi, dari politik hingga kesehatan. Data sebaran hoaks atau berita palsu yang ditemukan Kominfo mulai Agustus 2018 hingga awal 2022 saja tercatat ada 9.546 hoaks telah tersebar di berbagai platform media sosial di Internet. Tak heran jika RedState menyebut bahwa hari ini adalah era brave new world of fake news.

Pemerintah, khusunya Kominfo memang tidak tinggal diam, setiap bulannya selalu ada laporan jumlah penanganan hoaks yang dilaporkan. Seperti penanganan sebaran konten hoaks Covid-19 periode 23 Januari 2020-23 Agustus 2022 berikut:

Facebook

Sebanyak 5.580 pengajuan takedown sebaran hoaks Covid 

Instagram

Sebanyak 52 pengajuan takedown sebaran hoaks Covid

Youtube

Sebanyak 55 pengajuan takedown sebaran hoaks Covid

Twitter

Sebanyak 610 pengajuan takedown sebaran hoaks Covid

Sumber: https://www.kominfo.go.id/content/detail/43679/penanganan-sebaran-konten-hoaks-covid-19-senin-15082022/0/infografis

Dari Jimmy’s World Hingga Surat Suara

Disinformasi, propaganda, hoaks ataupun berita palsu memang bukanlah hal yang baru. Salah satu hoaks terbesar sepanjang sejarah jurnalisme Amerika Serikat pernah terjadi di tahun 1980-an, yakni dalam artikel “Jimmy’s World”. Artikel yang muncul di halaman pertama Washington Post itu menarik simpati warga Amerika dan pembaca internasional terhadap Jimmy, seorang bocah pecandu narkoba sejak usianya 5 tahun. Artikel tersebut sangat populer hingga Janet Leslie Cooke, sang penulis, diganjar penghargaan prestisius Pulitzer atas karya jurnalistiknya. Setelah penganugerahan, belakangan baru terungkap bahwa “Jimmy’s World” adalah hasil fabrikasi sang wartawan. Sosok Jimmy hanyalah imajinasi, dan narasi “Jimmy’s World” seluruhnya merupakan kebohongan. Dengan berat hati nama Janet Cooke sebagai wanita Afro-Amerika pertama yang menerima Pulitzer, harus dicoret.

Artikel Jimmy’s World – Sumber: newsbuster.org

Kasus tersebut memperlihatkan bagaimana berita palsu bergulir hingga dirayakan dalam ajang penghargaan paling bergengsi sepanjang sejarah jurnalisme.

Di Indonesia sendiri, derasnya arus berita palsu meningkat jelang musim pemilihan presiden. Misalnya saja tentang cuitan Andi Arief di Twitter yang tersebar di berbagai media sosial. Meskipun si empunya cuitan merasa bahwa dirinya hanya meminta pembuktian, tetapi publik sudah kepalang percaya bahwa pernyataan itu adalah sebuah berita, bukan opini. Keadaan menjadi gaduh, ditambah pula banyak media yang menggoreng berita. Di saat seperti itu, media diharapakan menyajikan berita yang benar dan berimbang sesuai fakta. Layaknya portal Inilah.com yang memberitakan bahwa berita tersebut langsung dicek kebenarannya oleh pihak terkait. KPU pun memastikan kabar tujuh kontainer surat suara yang sudah tercoblos itu adalah bohong. Sila cek di  https://www.inilah.com/hoaks-surat-suara-polri-bijaklah-bermedia-sosial

Berita palsu sangatlah berbahaya. Penyebarannya tidak hanya mempengaruhi pola pikir masyarakat, tetapi juga mempengaruhi tindakan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Sumber: Google

Merdeka dari Berita Palsu dengan Literasi Media

Sudah 77 tahun Indonesia merdeka. Namun, negara kita belum benar-benar merdeka, bukan? Jika dulu Indonesia merdeka dari penjajahan  kompeni, sekarang Indonesia masih dijajah media sosial juga imperialisme teknologi-budaya.

Diskusi di internet saja misalnya, lebih spesifiknya media sosial, sangat berpotensi memperkeruh ekosistem informasi. Sebab pengguna media sosial non jurnalis “umumnya” lemah terhadap kontrol-kontrol atau pakem jurnalisme. Seperti luput dalam melakukan verifikasi, kurangnya paham akan pentingnya akurasi, serta tidak memiliki bekal cukup untuk memahami etika jurnalisme dan hukum media daring saat membagikan informasi di media sosial. Seakan informasi apa pun yang disajikan di timeline adalah bahan konsumsi yang bisa ditelan mentah-mentah. Hal tersebut didukung oleh data penelitian yang dilakukan oleh Kata Data Insight Center di 34 Provinsi pada tahun 2020, bahwa 68,4% responden memiliki kemampuan identifikasi hoaks yang rendah. Sementara survey tahun 2021 merilis bahwa separuh responden, yakni 45,5% ragu dalam mengidentifikasi kebenaran informasi. Padahal, seharusnya kecanggihan teknologi diiringi dengan semakin bijaknya seseorang dalam menerima informasi. Oleh karena itu, dibutuhkan literasi agar publik lebih bijak bermedia. Seperti yang diungkapkan oleh Fahd Pahdepie, CEO Inilah.com berikut:

“Jadilah orang yang tercerahkan, yang berani melepaskan belenggunya masing-masing dan membantu orang lain keluar dari penjara struktur yang tidak bisa lepas dari dirinya. Itulah literasi.”

Setelah dibaca ulang kemudian diresapi, saya jadi paham bahwa kemampuan literasi media dimulai dari diri kita masing-masing terlebih dahulu, baru menyebarkan virus literasi itu ke orang lain. Untuk itu, kemampuan seseorang untuk memiliah, menganalisis, juga kritis terhadap konten media sesungguhnya bisa dimulai dari diri sendiri dan dimulai saat ini juga. “Baca dulu, setelah dibaca lagi, nilai, apakah beritanya bermanfaat tidak untuk saya. Ada manfaat kalau kita kirim orang lain? Ada manfaat untuk orang lain? Kalau tidak benar, atau sifat hasut, tolong abaikan, delete, jangan kita kirimkan, atau konfirmasi, ‘eh, ini benar tidak,” tutur Komjen. Pol. (Purn.) Ari Dono dalam https://www.inilah.com/wakapolri-generasi-milenial-harus-tangkal-hoax. Untuk itu, kemampuan “Saring Sebelum Sharing” harus dibiasakan. 

Grafis oleh penulis

Selain masyarakat yang harus cakap dalam literasi media, pemerintah pun harus turut aktif membasmi habis portal berita abal-abal yang memproduksi berita bohong tanpa sumber yang jelas, apalagi jika dibumbui dengan judul provokatif yang mengandung fitnah.

Maka dari itu, keberadaan media yang terpercaya adalah sebuah keniscayaan untuk memerdekakan masyarakat digital dari hoaks atau berita palsu yang berkembang. Terlahirnya kembali Inilah.com sebagai portal berita yang pernah menjadi salah satu portal berita online teratas di Indonesia, adalah solusi yang menjawab kebutuhan masyarakat akan sebuah media massa digital yang terpercaya, jujur, dan benar.

Selayang Pandang Inilah.com

Inilah.com bukanlah portal berita yang asing bagi saya. Pada 2014, saya sempat mondar-mandir ke kantor Inilah.com di Jakarta Selatan, untuk menemani seorang sahabat mengumpulkan data skripsi. Saat itu sahabat saya membahas tentang objektivitas pemberitaan media online yang objeknya adalah Inilah.com sendiri. PT. Indonesia News Center (Inilah.com) merupakan media online yang hadir sejak Februari 2008. Eksistensinya bahkan sudah diakui masyarakat hingga berhasil mencapai 40 besar situs web di Indonesia dan menempati posisi 5 besar sebagai situs berita di Indonesia pada awal tahun 2010.

Setia menemani pembacanya selama 13 tahun, 17 Agustus tahun lalu, Inilah.com pun menelurkan inovasi baru dengan konsep jurnalisme solusi. Bukan hanya hadir dengan konsep jurnalisme lebih mendalam, nafas baru dengan tagline “Titik Tengah. Titik Cerah” pun disematkan. Tampilan website-nya pun terlihat lebih segar, sajian aplikasinya semakin apik, dan kini didominasi anak-anak muda yang bahteranya dinahkodai Fahd Pahdepie sebagai Chief Executive Officer (CEO). Fahd Pahdepie dikenal sebagai Direktur Eksekutif Amanat Institute, staf ahli presiden RI, pebisnis, juga penulis yang karya-karyanya hadir menemani pembaca dalam buku-buku juga media sosial.

Setelah satu tahun, Inilah.com reborn terlihat semakin matang. Dari kaca mata saya, yang menarik perhatian ketika mengakses Inilah.com baik melalui website maupun aplikasi adalah tampilannya yang clean, ringan, dan sederhana. Notifikasinya yang hadir setelah saya meng-install aplikasi Inilah.com di handphone, membuat saya tak pernah ketinggalan berita terkini. Membaca sebuah informasi dengan tenang tanpa diganggu oleh iklan yang berlebihan juga bisa saya dapatkan di Inilah.com.

Navigasi untuk mengakses berbagai menunya pun sangat jelas dan mudah sehingga pembaca bisa dengan cepat mengakses menu berita yang diinginkan. Ketika jenuh misalnya, saya akan dengan mudah mengakses kanal “Hangout” dan menjelajah tulisan-tulisan favorit saya di sana. Selain ringan, tampilannya juga sangat mobile friendly. Ini menjadi suatu hal yang penting, sebab saat ini mayoritas pengguna internet lebih banyak mengakses berita melalui handphone daripada perangkat gawai lainnya. Terakhir, dan menjadi hal yang terpenting dari yang paling penting adalah sajian artikel Inilah.com apa adanya, tidak dilebih-lebihkan, sangat padat, informatif, berimbang, aktual, juga benar karena berasal dari sumber yang kredibel. Selamat satu tahun Inilah.com Reborn.

 

 

 

Yuk, lebih bijak bermedia dan selektif memilih informasi!

Pastikan membaca dan menyebarkan informasi yang kredibel juga bersumber dari media yang benar dan berimbang.

Kini saatnya Indonesia menjadi  masyarakat  yang merdeka dari berita palsu.

Sumber:

https://www.inilah.com/about

https://www.inilah.com/hoaks-surat-suara-polri-bijaklah-bermedia-sosial

https://www.inilah.com/wakapolri-generasi-milenial-harus-tangkal-hoax

https://www.inilah.com/behind-the-scenes-soft-lauching-inilahcom-reborn

https://www.inilah.com/1-tahun-inilah-reborn-bertambahnya-kebaikan

https://cdn1.katadata.co.id/media/kic/kominfo/Status%20Literasi%20Digital_Nasional.pdf

https://www.kominfo.go.id/content/detail/35550/hoaks-masuk-rumah-sakit-langsung-divonis-covid-19-dan-dibunuh/0/laporan_isu_hoaks

https://en.wikipedia.org/wiki/Brave_New_Worldhttps://bisnis.tempo.co/read/1558213/hingga-awal-2022-kominfo-temukan-9-546-hoaks-di-internet

https://www.kominfo.go.id/content/detail/43679/penanganan-sebaran-konten-hoaks-covid-19-senin-15082022/0/infografis

https://www.newsbusters.org/blogs/nb/rich-noyes/2016/12/10/speaking-fake-news-washington-posts-jimmys-world-scam

https://m.kominfo.go.id/content/detail/15886/hoax-surat-suara-tercoblos-kominfo-andi-arief-bisa-dijerat-pidana/0/sorotan_media

https://gensindo.sindonews.com/beritaamp/945/1/sudah-tau-literasi-gak-sebatas-soal-baca-dan-tulis/10

https://www.kominfo.go.id/content/detail/35550/hoaks-masuk-rumah-sakit-langsung-divonis-covid-19-dan-dibunuh/0/laporan_isu_hoaks